Letkol Suharto utusan Panglima Besar Sudirman datang di Madiun 1948


Utusan Panglima Besar Sudirman Datang di Madiun
22 September 1948

Soemarsono

Dalam keadaan situasi seperti itu, Panglima Besar Sudirman menyuruh Letkol Harto, komandan resimen di Yogyakarta, untuk meninjau Madiun. Berita-berita mengatakan di Madiun telah terjadi perang saudara. Letkol Suharto datang tiga hari setelah Pidato Soekarno.
Mengenai Harto itu begini. Yang penting dia utusan Panglima Besar Sudirman, tanggal 22 September 1948 dia ada di Madiun bersama saya untuk menyaksikan bagaimana keadaan di Madiun. Sebab koran-koran di pusat pemerintahan di Yogyakarta sudah menulis, “Madiun banjir darah, ribuan orang dimasukkan ke dalam penjara, kaum nasionalis, muslim ditangkapi, bendera merah putih diturunkan, bendera merah paluarit dikibarkan.”
Sore-sore kira-kira jam setengah tujuh saya mendapat telepon. Saya tidak mengira kalau itu Suharto, waktu itu dia Letnan Kolonel. “Ini mas Marsono?’’
“Iya, siapa?”
“Saya Harto. Saya diutus oleh Pak Dirman, mas, untuk jumpa sama mas di Madiun.’’
“Ya datang saja.’’ Dia di Mantingan waktu itu, di perbatasan Madiun-Sala ada kecamatan yang namanya Mantingan. Dari situ dia datang.
“Masuk saja.”
“Lho, bagaimana bisa masuk?”
‘’Lho, wong di Madiun ndak ada apa-apa. Masuk saja, ndak ada halangan rintangan apa-apa, masuk saja.” Sampai di Madiun hari sudah malam, lalu dia ngomong-omong sebentar dengan saya.
Harto datang sendiri, dengan sopirnya.
Overste Suharto mengemukakan: “Suratkabar-suratkabar di Yogyakarta mengatakan bendera merah-putih diturunkan, bendera merah paluarit Soviet dikibarkan, pembunuhan, penangkapan massal, orang-orang dimasukkan ke dalam penjara.”
Lalu saya bilang: “Ya, saya senang dik Harto datang kemari sebagai utusan Pak Dirman. Tapi karena sudah malam bagaimana kalau besok pagi bersama saya kita keliling kota melihat keadaan di kota. Lihat saja sendiri apa di sini ada pemberontakan seperti yang disiar-siarkan suratkabar-suratkabar di Yogyakarta itu.”
Saya juga minta: “Dik Harto membantu kami menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Kan tidak bagus kita sedang menghadapi Belanda tetapi sekarang ini kita bertempur sendiri, perang saudara begini, saya tidak suka sekali.”
Harto menanggapi dengan baik. Keesokan paginya dia datang lagi ke tempat saya. Bersama kami keliling kota menyaksikan sendiri apa yang ditulis di suratkabar-suratkabar Yogyakarta itu. Saya ajak juga dia masuk penjara, saya panggil sipirnya, dan menanyakan apakah ada daftar orang baru yang ditangkap, apakah ada lagi pembunuhan. Yang korban cuma 5 orang, tidak ada pembunuhan apa-apa, tapi disiarkan di Yogyakarta kita berontak hebat sekali.
“Lha sekarang itu Dik Harto sudah menyaksikan sendiri. Bantulah supaya ada clearing mengenai soal ini.” Saya panggil dia Dik Harto
Dalam Peristiwa 3 Juli 1946 dulu, Harto kan saya atur untuk membela Istana Yogya melawan Kup Tan Malaka 3 Juli. Saya bilang, “Sekarang dik Harto bisa berbuat kebaikan, apalagi dik Harto kan diutus oleh Panglima Besar Sudirman.
Lalu saya minta: “Dik Harto, tolong bagaimana bisa ada jalan untuk menyelesaikan masalah ini secara baik. Apa bisa dik Harto menyampaikan surat kami kepada Presiden Soekarno. Tolong, deh, bikin pernyataan supaya jangan sampai ada tanggapan seperti yang disiar-siarkan suratkabar di Yogyakarta itu.”
Harto: “Baik, baik, mas. Tapi mas saja yang bikin pernyataan, saya yang tèken, saya tanggung-jawab.”
Saya bikin: “Keadaan di Madiun normal, tidak sebagaimana yang disiar-siarkan oleh suratkabar-suratkabar di Yogyakarta. Di Ma­diun tidak ada bendera merah-putih diturunkan, tidak ada bendera me­rah palu-arit dinaikkan. Di Madiun tidak ada penangkapan mas­sal, tidak ada banjir darah. Keadaan di Madiun normal.” Per­nyataan itu dia tandatangani. Pernyataan itu disiarkan oleh suratkabar daerah Suara Rakyat Madiun, dan disiarkan di radio “Gelora Pemuda” Daerah Madiun. Bukan RRI, tetapi radio “Gelora Pemuda”, siaran radio pemuda itu kedengaran juga di Yogya dan dae­rah lain.
Jadi itu pernyataan Letkol Suharto, Utusan Panglima Sudirman. Ada yang salah di buku Hersri itu, di situ ditulis dia utusan Bung Karno. Dia disuruh oleh Panglima Sudirman untuk melihat keadaan di Madiun. Omong-omong menurut analisa sekarang ini, Harto itu selalu mencari kesempatan paling baik untuk dirinya. Kalau Madiun seandainya unggul waktu itu dia musti berpihak ke Madiun.
     Jadi waktu itu Harto saksinya. Ternyata dia menyanggah apa yang disiar-siarkan surat-surat kabar di Yogyakarta. Madiun keadaannya normal, sebagai utusan Panglima Besar, Letkol Suharto dia menandatangani pernyataan itu. Nah, itu dokumen. Cuma sekarang saya tidak mempunyai dokumen itu di tangan. Tetapi masih ada saksi hidup, yaitu sopirnya Harto, yang mau menjadi saksi, kapan Harto datang di Madiun dan menandatangani sebuah pernyataan.

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 8:20 AM