Novel Pramudya Ananta Tur "Gadis Pantai"

Novel Pramudya Ananta Tur "Gadis Pantai"

Catatan Penyunting (April 2000)

Gadis Pantai bersamaan dengan Sang Pemula, keduanya karya Pramoedya Ananta Toer terbitan Hasta Mitra, diberangus oleh Jaksa Agung rejim Orde Baru pada tahun 1987. Alasannya: buku-buku itu menyebar-luaskan marxisme-leninisme yang terlarang!
    Dulu tidak kami tanggapi keputusan Jaksa Agung itu karena Penulis, Penerbit, dan seluruh rakyat memang dibungkam untuk bersuara. Sekarang pun tidak ingin kami berpanjang-panjang menanggapi dagelan politik kekuasaan para jendral itu, karena bukan saja rakyat kita tetapi seluruh dunia –- termasuk negeri-negeri kapitalis yang paling anti komunis –- menter­tawakan alasan larangan oleh para pe­nguasa Orde Baru itu.
    Sang Pemula misalnya disebut sebagai novel, padahal buku itu adalah suatu karya-riset (non-fiksi),  sama sekali bukan novel. Terlalu kentara sekali di sini bahwa untuk memberangus Pramoedya, para penguasa rejim Orde Baru merasa sama sekali tidak perlu membaca lebih dulu isi bukunya. Di alam Era Baru Indonesia, praktek dagelan kekuasaan seperti itu kita harapkan tidak berulang.
Gadis Pantai kini kita hadirkan kembali dalam bentuk edisi baru dengan cover baru: Edisi Pembebasan.

Joesoef Isak, ed.

Catatan Penyunting (1987)

“This unfinished novel is one of Pramoedya’s best works surpassing (in my opinion) his classics, Perburuan, Keluarga Gerilya and Bukan Pasar Malam.” Demikian antara lain tulis Savitri Prastiti Sherer dalam thesis Ph.D.nya berjudul “From Culture to Politics –- The Writings of Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965”, (Australian National University, July 1981), hlm. 238. Di lain bagian, promovenda bahkan berpendapat bahwa Gadis Pantai berada jauh di atas novel dan cerpen yang pernah ditulis Pramoedya, termasuk Bumi Manusia (yang tahun lalu terbit dalam bahasa Swedia di samping tujuh bahasa lainnya).
    Pengarang ketika menyampaikan naskah ini kepada penyun­ting, sedikit menjelaskan bahwa “kisah ini hasil imajinasi saya pribadi tentang nenek saya dari pihak ibu, nenek yang mandiri dan yang saya cintai.”  (lihat hal viii)
    Sebagaimana juga hampir semua novel dan cerpennya –- sekalipun fiksi atau imajinasi –- kisah dan tokoh-tokoh Pramoedya selalu berkait atau diangkat dari kenyataan dan pengalaman sejarah sosial-budaya manusia-manusia Indonesia. Dan khusus mengenai Gadis Pantai, ia berkait dengan keluarga pengarang sendiri, sehingga karenanya bisa disebut sebagai roman keluarga. Akan tetapi sayang sekali, kita tak dapat mengikuti kelanjutan dan akhir drama keluarga yang men­cengkam itu. Bagi pembaca Gadis Pantai merupakan suatu 'unfinished novel', kisah yang tidak selesai padahal Pramoedya sudah rampung menulis seluruh kisah. Dikatakan unfinished novel karena Gadis Pantai baru merupakan jilid pertama dari satu rangkaian trilogi, sedangkan naskah jilid ke-dua dan ke-tiga hilang-lenyap oleh vandalisme politik 1965 -– sampai sekarang tak dapat ditemukan dan dilacak kembali. Meskipun seluruh trilogi oleh Pramoedya sudah rampung ditulis di tahun 1962, tetapi baru naskah pertama saja, Gadis Pantai, sempat  diterbitkan sebagai  feuilleton, cerita bersambung dalam surat­kabar antara 1962-65.
     Tentang naskah dua buku terakhir yang hilang tak tentu rimbanya (jilid II dan III), dari pengarang didapat penjelasan bahwa bagian ke-dua meliput perjuangan kaum nasionalis, babak angkatan orang-­tuanya –- terjalin di dalamnya gemuruh isyu ko– dan non-kooperator terhadap kekuasaan kolonial; buku ke-tiga menyangkut perjuangan kemerdekaan, babak angkatan Pram sendiri. Jadi selain sebagai roman keluarga, trilogi itu  sekaligus juga merupakan roman perjuangan bangsa, roman sosial-politik, tetapi jelas “ …. jauh dari segala expressi propaganda politik” sebagaimana ditulis oleh promovenda Savitri Sherer dalam disertasinya tersebut di atas (hlm. 248).
     Penyunting cukup terkejut, ketika menerima naskah Gadis Pantai dalam bentuk fotokopi mikrofilm dari bagian doku­mentasi perpustakaan A.N.U., Australia. Penyiarannya dahulu dalam bentuk cerita-bersambung ternyata penuh dengan salah cetak, baris-baris yang hilang dan terputus begitu saja di tengah-tengah kalimat, sedangkan penempatan nomor-urutnya beberapa ada yang terbalik-balik. Dengan alasan itu, ditambah lagi repro­duksi mikrofilm yang sudah sulit terbaca, penyunting terpaksa di sana-sini memperbaharui dan menulis kembali bagian-bagian tertentu dari naskah ini demi kejelasan dan kesinambungan cerita. Tentu tanpa merubah sedikit pun isi, gaya dan semangat yang diekspresikan pengarang. Dari segi itu, segala kekurangan dan kelemahan edisi baru Gadis Pantai ini dengan sendirinya menjadi tanggungan penyunting.

Walaupun hanya bagian pertama saja, penerbitan kembali Gadis Pantai sekarang dalam bentuk buku terjilid, sudah lebih daripada berharga sebagai pendokumentasian salah satu mutiara kemilau dalam khazanah sastra Indonesia.

Jakarta, Mei 1987                                                   Joesoef Isak, ed.

                              

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih tertuju kepada bagian dokumentasi Australian National University Canbera, yang masih menyimpan naskah Gadis Pantai ini – dan Savitri P. Sherer yang mengirim kopinya kepada Pengarang – sehingga memungkinkan kisah ini diterbitkan di dalam bentuk buku, dan juga terimakasih kepada Arina Ananta Toer yang mengoreksi proefdruk sebelum naik percetakan – Penerbit.
Jakarta,  Mei 1987


Lanjutan kisah Gadis Pantai

Seperti ditulis dalam pengantar singkat penerbit pada edisi 1987, pengarang ketika menyampaikan naskah Gadis Pantai kepada penyun­ting, menjelaskan singkat bahwa “kisah ini hasil imajinasi saya pribadi tentang nenek saya dari pihak ibu, nenek yang mandiri dan yang saya cintai.”
Kisah keluarga yang sekaligus merupakan kisah gerakan nasionalisme Indonesia sudah rampung ditulis oleh Pengarang dalam tiga jilid (trilogi) di tahun 1962, akan tetapi hanya jilid pertama – Gadis Pantai – sempat beredar dalam bentuk cerita bersambung (1962-65) dalam LENTERA, lampiran kebudayaan suratkabar Bintang Timur. Jilid satu itulah yang terse­lamatkan dan bisa dibaca bangsa Indonesia maupun pembaca manca­negara mula-mula sebagai cerita-bersambung dan kemudian dibukukan, sedangkan di tahun 1965 jilid dua dan tiga musnah oleh vandalisme gerombolan yang kemudian menamakan diri Orde Baru. Walaupun hanya satu jilid, kisah Gadis Pantai merupakan suatu karya utuh – mengasyikkan sekali oleh mutu literernya yang tinggi, sambil memberikan gambaran sosial-budaya semasa yang menggugah nilai-nilai kemanusiaan  mengharukan bagi para pembaca. Namun pembaca wajar masih terus penasaran setelah menamatkan “unfinished novel”  ini.


GADIS PANTAI 

gadis kampung nelayan –- miskin, takberpendidikan –- mendadak hidup di kota jadi orang gedongan. Jadi Mas Nganten, nyonya bang­­sawan, berge­limang dalam keme­wahan dan ke­biasaan-kebiasaan yang tak pernah dialami sebelumnya.
     Anak laut yang tak pernah lihat intan laut, tahunya cuma bau amis ikan, hidup hanya bila sang bapak semalam suntuk menan­tang badai dan gelombang laut dan ikan-ikan terperangkap di dalam jala. Dulu cuma tahu jalankan perintah, sekarang mesti beri perintah kepada para sahaya, tetapi terhadap Bendoro suami ia tetap harus takluk mengabdi jalankan segala perintah.

Ah, bapak.
Bapak!
Aku tak butuhkan sesuatu
dari dunia kita ini.
Aku cuma butuhkan orang-orang tercinta,
hati-hati yang terbuka, senyum tawa
dan dunia tanpa duka, tanpa takut.

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 10:18 PM