Marxisme bukan Monopoli Komunis


marxisme bukan monopoli komunis
Tentang Das KapitalMarx

Sepanjang abad 20, tigapuluh tahun lebih di jaman modern ini, Indonesia didominasi oleh suatu kekuasaan lalim yang tak pernah terjadi di dunia beradab di mana pun, ke­cuali suatu persamaan yang juga dialami rakyat-rakyat Spa­nyol dan Jerman ketika ber­ada di bawah kekuasaan fasis jendralisimo Franco dan Nazi Hitler.
Di Indonesia di bawah jendral militeris Suharto, ratusan-ribu manusia dibantai, dijebloskan dalam penjara, dan yang tidak kurang kejam daripada pembunuhan: berpikir pun dikerangkèng! Warga yang berpikir berbeda ketimbang selera doktrin ideologi para pe­nguasa di­telikung. Ini dikenal dalam sejarah politik sebagai witch-hunt, perburuan atas manusia-manusia yang dianggap kiri – komunis, nasio­nalis, agamis yang progresif – pendeknya semua warga yang punya pikiran lain (de anders­denkenden) daripada pe­nguasa. Dari mana Suharto berguru memusnahkan ja­sad manusia dan pikiran manusia seperti itu?
Suharto ternyata tidak lain adalah epigon pengemban dan pe­lak­sana paradigma McCarthy mengenai Perang Dingin -– memus­nah­kan komunisme dan para pengikutnya. Ciri seorang epigon adalah cemerlang sebagai peniru orang panutannya, namun tanpa orijinali­tas dan tanpa intelegensi, biasanya malah bertindak berlebih­an. Bill Clinton ketika diangkat jadi Presiden berbicara tentang The Revival of Democracy – kebangkitan kembali demokrasi; Suharto ketika jadi Presiden malah bertekad melaksanakan konsisten The Revival of McCarthyism, artinya menumpas semua yang berpikir lain “sampai ke akar-akar­nya”. Jadi bertolak-belakang dengan Bill Clinton yang rupanya melihat kemerosot­an pada nilai-nilai demo­krasi sehingga ia merasa demokrasi itu harus dibangkitkan kembali.
Yang khusus ingin kita soroti di sini adalah dosa Suharto bukan saja karena pembantaian, korupsi, KKN dan krismon. Lebih-le­bih parah dari semua itu adalah krisis intelektual, pembodohan dan penyeragaman berpikir yang sepenuhnya menjadi tanggung-jawab Suharto bersama rejim Orde Barunya. Pancasila Bung Karno harus dipahami sesuai Pancasilanya versi Suharto, marhaenisme dan semua ajaran politik Bung Karno dilarang, marxisme ditabukan, selanjutnya penulisan sejarah pun dimanipulasi.
Dagelan paling tidak lucu, malah menyedihkan sekali, adalah bahwa pe­nguasa dan para pejabat rejim Orde Baru yang gencar menumpas marxisme-leninisme-komunisme, kita ragukan apakah betul tahu dan memahami apa yang mereka kerjakan. Pernahkah para pejabat itu -– terutama pejabat yudisial dan aparat keamanan Orde Baru -– de­ngan serius membaca Das Kapital Marx, atau mempe­lajari satu buku saja ilmu marxisme karang­an Marx yang mana pun? Jangan­kan membacanya, memiliki buku marxisme dan pernah meme­gang­nya pun kita ragukan. Itu kita katakan atas dasar peng­alaman konkret selama berkali-kali di-interogasi oleh aparat keamanan dan para pejabat yudisial rejim Orde Barunya Suharto.
Di sini tidak usahlah kita mengutip Bung Karno, seorang muslim yang soleh, seorang nasionalis sejati dan penggali Pancasila yang memang terbuka menyatakan diri sebagai seorang marxis. Di sini kita ingin mengingatkan pembaca pada ucapan Bung Hatta, ketika beliau berpolemik dengan Tan Ling Djie semasa belajar di negeri Belanda. Hatta kurang-lebih mengatakan “marxisme bukan monopoli komunis -– saya berhak dan akan menggunakan marxisme sebagai perangkat analisis ekonomi bila saya mengingininya dan memerlukannya.” Jelas dua pemimpin besar kita yang bukan komunis itu, membaca, mempe­lajari, memahami dan menguasai marxisme sebagai ilmu secara mendalam dan mendasar sekali. Secara implisit ini berarti bahwa menjadi seorang marxis tidak mungkin orang bodoh, sebab menjadi marxis harus ber­ilmu, harus sungguh-sungguh belajar, dan dengan sendirinya harus pintar.
Kini sudah waktunya kita tutup rapat-rapat era pembodohan dan penyera­gaman berpikir selama tiga dekade era Suharto itu!
Dalam menutup era pembodohan dan penyeragaman berpikir ini, Hasta Mitra akan aktif berpartisipasi memasuki era mencerdaskan bangsa. Kita menghargai sumbangan Ira Iramanto yang dengan ketekunan luar biasa telah menyiapkan suatu daftar terjemahan karya-karya standard tentang marxisme. Buku Frederick Engels Tentang Das Kapital Marx adalah terbitan pertama yang kita luncurkan dalam seri buku ilmiah Hasta Mitra. Dalam serial buku-buku ilmiah ini, di samping literatur marxisme, akan kita terbitkan juga antara lain buku filsuf Katolik, Teillhard de Chardin tentang fenomena manusia, Van Miert tentang sejarah nasionalisme Indonesia dan Jawa, filsafat ilmu oleh Ian Chal­mers dan banyak lagi yang lain-lain. Dengan demikian kita tinggalkan untuk selamanya era McCarthyisme­nya-Suharto yang absurd dan merendahkan martabat manusia itu.
Sebagai penutup pengantar ini, kita merasa perlu menyatakan bahwa kita semua wajib menghormati mereka yang sudah menjatuhkan pilihan hidupnya untuk menjadi anti-komunis, sebalik­nya kita pun wajib menghormati orang-orang yang memilih keya­­­ki­n­­­­an sebagai komunis atau pro-marxisme. Syarat untuk itu tentu kita harapkan supaya yang anti maupun yang pro marxis dengan serius mempelajari dan menguasai marxisme itu sebagai ilmu pengetahuan -– jadi tidak anti-Marx tetapi bodoh membabi-buta enggak tahu persoalannya, atau pro-Marx tetapi dogmatik penafsirannya.
Selama sikap pro atau kontra itu masih bergerak di wilayah diskusi, tulisan, keyakinan serta pemikiran, masih memakai otak bukan otot, tidak mengguna­kan bedil dan ke­kerasan untuk memaksakan keyakinannya pada pihak lain, maka bisa kita katakan bahwa bangsa Indonesia masih berpikir dan hidup dalam masyarakat Pancasila yang beradab.
                                                               Joesoef Isak, ed.

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 7:35 AM