Mahbub Djunaidi Milik Kita Bersama


Mahbub Djunaidi Milik Kita Bersama

Oleh Umar Said

Saya mengunjungi rumah Mahbub Djunaidi tahun l996, setahun setelah ia meningal dunia, sesudah berpisah selama 31 tahun. Pertemuan terakhir pada bulan-bulan sebelum terjadinya peristiwa G30S tahun l965.  Waktu itu saya bekerja sebagai pemimpin redaksi suratkabar harian Ekonomi Nasional sejak tahun 1960, dan juga menjabat sebagai anggota pengurus (bendahara) PWI Pusat. Sedangkan Mahbub sebagai pemimpin redaksi harian Duta Masyarakat, juga terpilih dalam kongres PWI yang ke-11 ( 13-16 Agustus 1960 di Jakarta) menjadi Ketua PWI Pusat, bersama-sama dengan Soepeno dan Suwarno. Ketua Umumnya A. Karim D.P. dan Sekjennya Satya Graha.
Saya menginap di rumah Mahbub atas desakan istri dan puteri pertama Mahbub. Keluarga ini telah mene­rima saya dengan hangat, malah terasa “memanjakan” dengan pelayanan yang mencerminkan kedekatan hati.
Sekedar diketahui, saya baru menginjakkan lagi kaki saya  di bumi tanah-air setelah mening­galkannya selama 31 tahun. Keluarga Mahbub tahu bahwa selama ini saya tidak bisa kembali ke tanah-air, dan terpaksa bermukim di luarnegeri karena sebab-sebab politik. Fairuz, puteri sulung Mahbub, pernah mengenal kehi­dupan saya ketika ia menginap dalam waktu yang cukup lama di rumah kami di Paris. Apakah justru karena mereka mengetahui itu semuanya, maka merasa dekat dengan saya?

”Hubungan Batin” Yang Terjalin Kembali

Selama hidup di pengasingan (baik selama di Tiongkok maupun di Prancis) hubungan saya dengan Mahbub dengan sendirinya terputus dalam jangka lama. Hu­bungan langsung dengannya barulah bisa dijalin kembali dalam tahun 1994 lewat tilpun dan beberapa pucuk surat. Tetapi, melalui tulisan-tulisannya ”Asal-Usul” yang sering sekali muncul dalam harian Kom­pas, saya merasa masih ada hubungan batin dengan­nya.
Pembicaraan-pembicaraan kami selama Fairuz tinggal  di rumah kami di Paris seolah-olah merupakan  potongan-potongan yang .di sana-sini bisa menyam­bungkan kembali hubungan yang sudah lama putus. Melalui cerita-ceritanya kami bisa mengetahui, serba sedikit, berbagai peristiwa yang terjadi pada diri Mahbub, antara lain mengapa ia ditahan oleh militer Orde Baru, mengapa ia tidak menjadi Ketua NU lagi, sikapnya yang tidak mau ikut tenggelam dalam selokan kotor KKN  yang merajalela waktu itu, soal sikapnya terhadap kawan-kawannya yang menjadi tapol dan ex-tapol, soal sikapnya terhadap Bung Karno dll.
Bisalah kiranya dikatakan bahwa “hubungan batin” ini terasa menyambung kembali ketika saya tinggal selama dua hari di rumahnya di Bandung dan bicara-bicara  dengan keluarganya. Ini juga  saya rasakan ketika istri dan putrinya menjamu saya di restoran masakan Sunda yang khas, atau ketika mengatur acara wisata di Tangkuban Prahu dan sumber air-panas. Atau, juga ketika putranya mengajak saya untuk menikmati pemandangan indah kebun-kebun teh dan merasakan kesegaran air panas pemandian alam di pegunungan-teh. Bagi saya, rasanya, semua itu telah dilakukan oleh keluarganya “atas nama” Mahbub, atau “untuk”nya. Dan semua ini memberikan isyarat bahwa keluarganya menerima saya sebagai salah satu di antara begitu banyak sahabat Mahbub. Walaupun selama puluhan tahun saya sudah berpisah dengannya, karena terpaksa bermukim di luarnegeri, gara-gara dimusuhi Orde Baru.

Masuk Penjara Dalam Tahun 1978

Bagi saya pribadi, apa yang terjadi pada diri Mahbub dalam tahun 1978 merupakan sesuatu yang memberi­kan tanda bahwa ada perkembangan yang penting dalam perjalanan sejarah hidupnya. Dalam tahun itulah ia dimasukkan dalam tahanan, atau dipenjarakan, oleh rezim militer Orde Baru. Berita tentang ditahannya Mahbub ini saya baca di Paris, ketika saya sudah bermukim sebagai ”political refugee” (pelarian politik) selama 4 tahun dan sedang bekerja sebagai pegawai di salah satu badan Kementerian Pertanian Perancis.
Dari berita-berita yang disiarkan dalam koran-koran Indonesia, tidak bisa diketahui tentang latar-belakang yang sebenarnya dan sebab-sebabnya mengapakah ia dipenjarakan. Yang bisa kami baca di Paris waktu itu adalah adanya suara-suara yang mulai makin kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Suara kritis ini sudah terdengar sejak meletusnya peristiwa Malari dalam tahun 1974. Walaupun sekarang ini terdapat berbagai analisa tentang meletusnya peristiwa Malari (antara lain : rekayasa atau “opsus” Ali Murtopo, per­tentangan antara Jenderal Sumitro dengan klik Suharto yang lain, manipulasi kekuatan mahasiswa oleh sebagian kekuatan Orde Baru dll) tetapi jelaslah bahwa ada berbagai golongan mahasiswa yang waktu itu sudah mulai mempertanyakan akan kebenaran sistem politik Orde Baru. Korupsi yang makin kelihatan merajalela telah menjadi topik berbagai aksi mahasiswa waktu itu.
Apakah situasi yang demikian itu merupakan faktor sehingga Mahbub mengambil sikap politik yang “mi­ring” terhadap Orde Baru, sehingga ia terpaksa harus mengalami penahanan dalam penjara?  Kelihatannya memang ya, demikian. Fairuz menceritakan betapa gencarnya godaan-godaan yang harus dilawan oleh Mahbub waktu itu. Ada yang mengajaknya untuk “ber­bisnis” , umpamanya, dan antara lain, dalam soal-mencetak dan distribusi  kitab suci Alqur’an. Di Ke­menterian Agama ada projek-projek “basah” yang bisa mendatangkan uang dengan gampang. Sebagian teman-temannya ada yang sudah menempuh jalan itu, dan menjadi kaya. Tetapi, rupanya Mahbub tidak mau terseret dalam kegiatan haram semacam itu. Ia memilih jalan yang lain, yang halal dan sesuai dengan suara hati-nuraninya.
Agaknya, pandangannya yang makin kritis terha­dap Orde Baru itulah, maka ia kemudian dimu­suhi. Di samping itu, penahanannya dalam penjara telah makin memperkokoh keyakinannya bahwa demokrasi harus­lah diperjuangkan dan dibela. Sikapnya makin terasa menonjol, ketika ia mulai menjadi penulis tetap untuk rubrik “Asal Usul” di Kompas, sejak akhir tahun 1986.

Kerjasama Di Zaman “Nasakom”

Barangkali, tidak salahlah kalau dikatakan bahwa Mahbub adalah seorang kader dan mantan pimpinan NU yang mencuat di atas ukuran rata-rata. Kesan ini sudah saya peroleh sejak sebelum peristiwa G30S pecah dan ketika kami masih sama-sama duduk dalam kepengurusan PWI-Pusat. Bagi saya, ia adalah seorang kader NU yang pada umur sangat muda, sudah me­mikul tugas penting bagi NU. Dalam usia yang belum mencapai 30 tahun ia sudah menjabat sebagai pemim­pin redaksi harian Duta Masyarakat, organ resmi NU, di samping jabatannya yang lain dalam keluarga besar NU.
Dalam situasi politik yang cukup rumit waktu itu, ia harus mengemudikan korannya di tengah-tengah prahara pertentangan laten antara sebagian pimpinan TNI-AD dengan PKI dan Bung Karno, dan ketika “perang dingin” makin memuncak di bidang inter­nasional dengan makin memanasnya situasi di Indo­cina. Di samping itu, memimpin koran ketika berbagai konsepsi Presiden Sukarno sedang dilancarkan (antara lain : konsep Nasakom, Ganefo, Conefo) memerlukan juga kebijaksanaan atau kearifan.
Pada umumnya, ketika kami bersama-sama menjadi anggota pengurus PWI Pusat, terdapat saling pengertian dan kerjasama yang cukup baik dalam menangani persoalan-persoalan yang timbul di tanah-air waktu itu. Sebagai bendahara, saya memang setiap hari datang di kantor PWI Pusat (di Jalan Jawa waktu itu). Mahbub datang kalau ada rapat-rapat pengurus pusat. Pada kesempatan semacam itulah kami bisa berbincang-bincang tentang berbagai soal dan berke­lakar. Kadang-kadang, ia juga datang ke kantor Sekre­tariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA), di Press House (Wisma Warta), di Jalan Thamrin, seka­rang menjadi Plaza Indonesia. Karena, Sekretariat PWAA, juga sering mengadakan pertemuan dengan para tokoh wartawan Indonesia. Saya juga menjabat sebagai bendahara PWAA.

Mengenal Lebih Baik Pribadi Mahbub

Saya lebih mengenal pribadi Mahbub ketika permu­laan tahun 1965 Bung Karno mengadakan kunjungan kenegaraan ke Philipina dan Kambodja, yang diterus­kan dengan kunjungan tidak resmi ke Jepang. Untuk kunjungan kenegaraan ini telah diajak sejumlah wartawan, antara lain Karim D.P dari Warta Bhakti, Suhardi dari Suluh Indonesia, Mahbub dan saya. Dalam perjalanan kepresidenan ini saya sering tidur sekamar dengan Mahbub. Yang sampai sekarang sangat berkesan ialah ketika kami berada di Tokio. Karena kunjungan ke Jepang waktu itu bersifat kun­jungan tidak resmi, masing-masing  anggota rombong­an bisa mempunyai program yang santai.  Saya dan Mahbub ditempatkan di satu kamar di Hotel Teikoku (Hotel Imperial).
Selama beberapa hari itulah kami berdua sering berjalan-jalan, termasuk membeli oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Menarik untuk dicatat di sini bahwa walaupun ikut dalam perjalanan  presiden ke luar negeri, para wartawan waktu itu hanya mendapat uang saku yang tidak banyak. Demikian juga anggota-anggota rombongan lainnya.
Saya merasa  lebih mengenal Mahbub justru di Jepang. Karena banyak waktu senggang, terutama sore hari, maka kami sering bicara dari “hati ke hati” tentang berbagai persoalan, baik yang berkaitan dengan ma­salah  politik, profesi jurnalistik maupun masalah yang bersifat kehidupan pribadi. Masih sayaingat begaimana Mahbub menceritakan pengalamannya keliling Ame­rika, ketika ia mendapat undangan untuk mempelajari berbagai aspek pers Amerika. Ia menyebutkan judul buku-buku yang  ia sukai. Dari situ saya mendapat kesan bahwa ia memang suka membaca, dan mempu­nyai pandangan yang cukup luas mengenaiberbagai soal.
Sudah tentu, kita bicara-bicara juga tentang soal-soal yang lebih bersifat pribadi.  Yang masih saya ingat ialah bagaimana ia pernah terpesona melihat seorang gadis yang ikut dalam perlombaan membaca Alqur’an di suatu kota Bukan saja suaranya merdu dan cara membacanya indah, tetapi wajahnya juga cantik. Ia juga bicara tentang gadis-gadis cantik yang ikut dalam suatu grup kesenian qasidah. Sudah tentu, pembicaraan soal-soal itu berlangsung dengan gelak tertawa dan komentar-komentar yang biasa dilakukan oleh banyak orang laki-laki. Wajar, kami adalah juga laki-laki se­perti yang lain.
Pergaulan saya yang erat dengannya selama mengikuti perjalanan Bung Karno itulah yang mem­beri kesempatan bagi saya untuk mengenal Mahbub lebih baik. Terutama di Tokyolah  saya “menemukan” Mahbub. Pernah waktu itu hati saya berkata : “Kader muda NU ini memang hebat”. Waktu itu ia berusia sekitar 32 tahun, sedangkan saya 37 tahun.

Meletusnya Peristiwa G30s

Sesudah G30S meletus maka putuslah hubungan saya dengan Mahbub.  Berita tentang terjadinya G30S saya dengar di kota Alger (ibukota Aljazair). Saya ber­kunjung ke Alger dengan tugas untuk mengadakan persiapan-persiapan penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia Afrika yang kedua di kota ini, sesuai dengan keputusan KWAA pertama di Jakarta  (tahun 1963). Kunjungan ke Alger ini saya lakukan setelah kembali dari menghadiri konferensi-kerja International Organisation of Journalists (IOJ) yang diadakan di Santiago (ibukota Chili) dalam paroh kedua bulan September 1965.
Ketika di Alger saya mendengar bahwa suratkabar Ekonomi Nasional, Warta Bhakti, Harian Rakyat, Bintang Timur dibredel oleh militer dalam minggu pertama bulan Oktober, maka saya memutuskan untuk menggabungkan diri dalam delegasi PWI yang diundang ke Peking dalam rangka perayaan hari nasional Tiongkok 1 Oktober. Delegasi itu dipimpin oleh Supeno (wakil-direktur Antara), yang seperti halnya Mahbub juga menjabat sebagai Ketua PWI. Ternyatalah, kemudian, bahwa keputusan saya untuk menuju ke Peking itu adalah putusan yang tepat. Sebab, seandainya saya kembali ke Jakarta, pastilah saya akan ditangkap juga walapun saya tidak tahu-menahu dengan peristiwa G30S. Buktinya, begitu banyak orang yang tidak ada urusan apa pun dengan G30S juga telah dipenjarakan dalam jangka lama, tanpa salah apa pun dan juga tanpa pemeriksaan di pengadilan.
Selama di Pekinglah kemudian saya membaca berita bahwa dalam kongres PWI yang ke-12 (tanggal 4-7 November 1965) di Jakarta, Mahbub telah terpilih sebagai ketua umumnya, sedangkan ketua-ketua lainnya adalah M. Jusuf Sirath, Karna Radjasa, L. E. Manuhua dan sekjennya Yakob Oetama. Pengurus lainnya adalah Sutaryo, M Said Budairy sebagai wakil sekjen dan Moh. Nahar sebagai bendahara.
Dalam bulan-bulan pertama sesudah terjadinya G30S, saya di Peking terus-menerus mengikuti perkembangan di Indonesia secara teliti dan dengan prihatin. Penangkapan terhadap wartawan-wartawan yang dianggap atau dituduh sebagai anggota PKI atau pro-PKI makin banyak, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Demikian juga para aktivis  berbagai organisasi massa, termasuk serikat buruh dan organi­­sasi pegawai negeri. Penguasa militer mengkontrol secara ketat seluruh media pers, radio dan televisi. Berbagai peraturan untuk membatasi kebebasan pers telah diadakan. Teror mental dan persekusi politik terus-menerus dilancarkan terhadap mereka yang mendukung politik Presiden Sukarno.
Dalam situasi yang selalu dibayang-bayangi kekua­saan militer itulah Mahbub memimpin persatuan wartawan seluruh Indonesia. Pasti, begitu besarnya tekanan dari fihak militer waktu itu, terutama sesudah keluarnya Supersemar dalam tahun 1966. Wajarlah Mahbub terpaksa mengadaptasikan dirinya, dengan situasi waktu itu. Saya dapat membayangkan betapa beratnya bagi Mahbub menghadapi situasi yang demikian sulit.

Mahbub Mempunyai Tempat Tersendiri

Begitulah, masa pun berlalu terus.  Di Peking saya mendengar bahwa  dalam kongresnya yang ke-14 yang diadakan di Palembang (14-19 Oktober 1970), Mahbub sudah tidak dipilih lagi sebagai ketuanya. Artinya, Mahbub telah memimpin PWI selama lima tahun, dari November 1965 sampai Oktober 1970. Dan sejak itu, saya tidak begitu sering lagi menjumpai namanya dalam pers Indonesia. Apalagi, setelah Duta Masyarakat tidak terbit lagi. Tetapi, ternyata kemudian, itu tidak berarti ia sudah berpangku-tangan saja.
Berita-berita tentang Mahbub saya dengar dari teman lama saya Jusuf Isak, yang datang ke Paris dalam tahun 1978, sesudah ia keluar dari tahanan  selama belasan tahun. Ketika bicara-bicara tentang berbagai teman lama  di kalangan wartawan, kami menyinggung juga nama Mahbub. Dari pembicaraan inilah saya mendapat kesan bahwa Mahbub mem­punyai “angka baik” bagi banyak teman, termasuk bagi orang-orang seperti Jusuf Isak dan teman-temannya.  Hal yang sama saya dengar juga dari Karna Radjasa, yang bersama istrinya pernah singgah beberapa hari di Paris.
Bagi saya, bahwa teman-teman saya terdekat mempunyai penilaian yang baik terha­dap Mahbub ada­lah ukuran yang penting. Sebab, saya sudah lama meninggalkan tanah-air, dan karenanya tidak bisa mempunyai  pengalaman langsung dengan berbagai realitas yang terjadi di tanah-air sejak tahun 1965. Munculnya kekuasaan rezim militer Orde Baru telah membikin jungkir-baliknya berbagai norma-norma, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan juga moral. Ini termanifestasi dalam merajalelanya kebudayaan KKN dalam masyarakat dan di segala bidang, dilecehkannya secara menyolok hak-hak asasi manusia, dibunuhnya kehidupan demokratik, disalah­gunakannya kekuasaan secara sewenang-wenang, dan diabaikannya norma-norma hukum.
Di tengah-tengah situasi yang demikian itu, dan yang berlangsung begitu lama, terdengar adanya teman-teman atau kenalan-kenalan saya yang “jatuh” di tengah jalan, atau “luntur” yang disebabkan oleh ber­bagai faktor, baik yang bisa masuk akal dan wajar, mau pun yang tidak. Mengingat itu semua, maka, bagi saya sosok Mahbub mempunyai tempat tersendiri di antara jajaran sejumlah besar teman-teman dan kenalan saya.

Penilaian Gus Dur  Tentang Mahbub

Penilaian positif yang diberikan teman-teman saya tentang Mahbub makin berkesan bagi saya oleh pembicaraan saya dengan Gus Dur ketika ia ber­kunjung ke Prancis dalam tahun 1995. Bersama-sama dengan sejumlah teman-temannya dari Indonesia (antara lain A.S. Hikam dan M. Sobary), ia diundang menghadiri kongres suatu LSM Prancis yang besar, yaitu Comité Catholique contre Faim et pour le Developpement (CCFD). Karena saya juga diundang oleh LSM tersebut, maka selama lima hari saya bisa bertemu dengan Gus Dur dan bicara tentang berbagai soal.
Pada suatu hari, pembicaraan kami menyinggung juga Mahbub. Dari pembicaraan itulah saya mendapat kesan bahwa Gus Dur mempunyai penilaian yang tinggi terhadap pribadi dan apa yang telah dikerjakan Mahbub. Ketika ia mengatakan bahwa sekembalinya dari Paris, ia akan langsung menuju ke Bandung untuk hadir dalam upacara peringatan 40 hari wafatnya Mahbub, maka saya minta kepadanya untuk menyam­paikan salam saya kepada keluarga Mahbub.
Selang beberapa waktu kemudian sajalah saya mendengar bahwa sejumlah teman-teman lama saya, yang ikut hadir dalam upacara itu, terkejut ketika Gus Dur telah menyampaikan terang-terangan di depan banyak hadirin bahwa ada salam dari Umar Said yang tinggal di Paris. Bagi saya, apa yang dilakukan Gus Dur itu sesuatu yang “berani”. Sebab itu terjadi dalam tahun 1995, ketika Orde Baru masih sangat berkuasa, sedangkan ia tahu bahwa saya adalah orang yang termasuk dalam kategori “persona non grata” bagi Orde Baru. Di samping itu, ini juga menunjukkan bahwa ia menghargai persahabatan saya dengan Mahbub beserta keluarganya.
Upacara peringatan 40 hari wafatnya Mahbub, yang dihadiri oleh banyak tokoh dari berbagai kalangan (termasuk sejumlah ex-tapol) menandakan betapa besar penghormatan yang diberikan kepadanya. Harian Pikiran Rakyat (Bandung) dalam penerbitannya tanggal 10 November 1995 memuat artikel yang panjang tentang peristiwa ini. Dalam artikel itu disajikan isi pidato Said Budairy, KH.Yusuf Hasyim dan Gus Dur. Untuk menunjukkan betapa besar penghargaan Gus Dur kepada Mahbub, berikut adalah kutipan pidatonya yang diambil dari artikel tersebut.
”Mahbub Djunaidi merupakan tokoh gerakan, pejuang ideologi, jurnalis, dan rekan bergaul yang kerapkali kocak alias lucu. Asset perjuangan Mahbub terhadap bangsa Indonesia cukup banyak dan tergo­long besar. Dia memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan rakyat kekinian dan di masa mendatang.  Ketika di masa Orde Lama, Mahbub yang waktu itu merupa­kan guru dan kakak saya di lingkungan anak-anak muda NU, sudah memikirkan tentang suatu masa kelak. Masa yang dipikirkannya dan dimaksudkannya ternyata menjadi kenyataan yakni Orde Baru. Mungkin, dan ini yang kita tidak tahu, ketika beliau masih hidup di masa Orde Baru, tentu sudah memikirkan kelak akan ada masa lain di Indonesia. Bukankah Allah SWT akan mempergilirkan masa”, kata Gus Dur.
Dengan tiadanya Mahbub Djunaidi, menurut Gus Dur, bangsa Indonesia sebenarnya kehilangan salah satu putra terbaiknya. Diharapkannya kelak akan lahir “Mahbub-Mahbub” yang baru yang meneruskan cita-cita dan perjuangannya. Karena itulah, sebenarnya penghargaan yang wajar bagi Mahbub bukanlah seke­dar piagam atau bintang jasa. Akan tetapi, peng­hargaan dalam bentuk kesediaan segenap bangsa Indonesia melanjutkan pemikiran, cita-cita dan perjuangan almar­hum semasa hidupnya.
”Memang, Mahbub hingga kini tidak pernah menerima bintang jasa apa pun. Mungkin, ini karena kita merupakan suatu bangsa yang tidak bisa dan tidak terbiasa menghargai para pahlawannya. Mahbub sebenarnya layak dapat bintang. Sebagai tokoh jurnalis, dia cukup terkenal. Bahkan selanjutnya menjadi tokoh PWI. Karenanya, kalau waktu itu Mahbub mau ikut “bernyanyi” di masa awal Orde Baru, tentu dia bisa jadi Menpen. Bila dia jadi Menpen, insya’Allah, dia tidak akan terpeleset mengucapkan sesuatu”, ujar Gus Dur.
Ketika orang-orang di negeri ini berloba-lomba mencari dan mempertahankan hidup dengan “cari muka” dan “berbuat tak karuan”, ungkap Gus Dur, Mahbub justru menunjukkan kepolosan dan usahanya meraih kemajuan dalam hidup dengan ketulusan dan kejujuran. Banyak capaian yang diupayakan Mahbub yang tergolong penting dan besar bagi bangsa Indonesia (kutipan habis).

Makna Corat-Coret Di Pavilyun

Mengingat apa yang sudah diamalkan selama hidup­nya, memang sudah sepatutnyalah bahwa Mahbub mendapat penghargaan. Penghargaan ini sebagian tercermin dari begitu banyaknya pernyataan bela-sungkawa ketika ia wafat, dan juga ketika dilangsung­kan upacara peringatan 40 hari wafatnya. Dalam daftar ucapan terimakasih keluarga Mahbub kepada para teman dan sahabat dekatnya tercantum antara lain :
Keluarga Besar Bung Karno dan Yayasan Pendi­dikan Soekarno, Dr. Roeslan Abdulgani, Dr. K.H Id­ham Chalid,  Ali Sadikin, Jakob Oetama, Adurrah­man Wahid, Pengurus Besar NU, Keluarga Besar GP Ansor, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, HMI, Ismail Hasan Metareum, DPP PPP, Megawati Sukar­no­putri, DPP PDI-P, Masyarakat Indonesia di Prancis, Perhim­punan Mahasiswa di Jerman, Perhimpunan Mahasiswa di Australia, PWI, Dewan Kesenian Jakar­ta, Pramoedya Ananta Toer, Yusuf Isak, Hasyim Rahman, Oei Tjoe Tat, Agus Miftah. (mohon ma’af kepada nama-nama yang tidak tercantum dalam cuplikan ini. Pen.)
Sebagian kecil nama-nama perseorangan dan organisasi yang dicuplik di atas itu saja sudah mencer­minkan betapa luas spektrum asal penghargaan untuk Mahbub atas jasa-jasanya. Alangkah berwarna-warni­nya spektrum itu, dan alangkah jauhnya jangkauan arti yang dikandungnya. Spektrum yang menjebol sekat-sekat dan lintas-agama, lintas-suku atau ras, lintas-golongan, lintas-keyakinan politik atau ideologi. Inilah barangkali jiwa yang “sebenarnya” Mahbub Djuanidi. Baginya, persahabatan yang tulus bisa ditemukan di mana-mana, dan bahwa kebajikan bukanlah monopoli seseorang atau satu golongan atau satu kelompok saja
Sebagai kader NU, ia telah berusaha berbuat seba­nyak-banyaknya, dan semampu mungkin untuk NU, bagi GP Ansor, bagi PMII. Tetapi, dalam usahanya ini, ia tetap bisa menghargai pendapat golongan lain, yang tidak sealiran agama, atau bahkan yang berbeda agama. Ia bisa bersahabat dengan orang-orang yang dikate­gorikan “kiri”, dan menghargai adanya perbeda­an antara sesama ummat.
Karena itulah saya menitikkan air-mata ketika saya membaca corat-coret yang merupakan curahan hati para peserta upacara  bela-sungkawa atas wafatnya. Corat-coret ini telah dipajang di sebuah lembaran besar yang terpancang pada dinding sebuah ruangan yang terletak di sebelah rumahnya. Saya merasakan keharuan dalam hati, yang bercampur dengan kebanggaan, ketika membaca berbagai corat-coret yang banyak itu. Di antara banyak coretan itu ada yang berbunyi sebagai berikut :

”Demokrasi itu bisa dibunuh di dalam lembaga demokrasi oleh para demokrat dengan cara-cara yang demokratis”, kata Mabub.  (tertanda: Zainudin)
Saya butuh orang sepertimu tetapi susah dicari di zaman sekarang ini (tertanda: Barkorcam PDI Cibeuning Kidul)
Seorang teladan!! Yang berani berbeda demi kebenaran (tertanda: Bantuan Lembaga Hukum Indonesia - BLHI)
Indonesia telah kehilangan seorang putra  pembaru bangsa “Mahbub Djunaidi” (tertanda: PB PMII)

Entah berapa lama saya duduk di kursi, termenung sambil menatapi tulisan-tulisan yang banyak itu.  Ketika saya keluar dari ruangan itu, dan Fairuz melihat air-mata saya, ia diam saja, tetapi kelihatannya ia mengerti perasaan saya. Saya hanya mengatakan kepadanya, “Bapakmu orang baik!”. Sebab, dengan kalimat yang begitu singkat itu pun agaknya ia sudah mengerti apa yang saya maksudkan. Bagi saya, coretan-coretan itulah tanda penghargaan yang sebenar-benarnya dan setulus-tulusnya yang diberikan oleh masyarakat luas. Curahan hati mereka itulah bintang jasa yang asli dan murni, kepada seorang  “pembaru bangsa”

Seandainya Mahbub Masih Hidup Sekarang Ini...

Tidak sulitlah kiranya untuk menduga-duga bagaima­nakah pandangan Mahbub, seandainya ia masih hidup,  tentang berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara dan bangsa kita sekarang ini. Ia telah dipenja­rakan oleh Orde Baru, tanpa alasan atau tuduhan yang jelas. Banyak orang, termasuk keluarganya -bahkan mungkin ia sendiri -  tidak tahu juga, apa latar belakang yang sebenarnya maka ia sampai dipenjarakan. Yang sudah jelas diketahuinya adalah bahwa pemenjaraan yang sewenang-wenang itu telah mendatangkan penderitaan kepada seluruh keluarganya.
Mahbub telah ditahan oleh penguasa militer tanpa dasar hukum yang jelas dan yang sah. Karenanya,  ia tidak bisa diajukan ke depan pengadilan. Seperti halnya banyak sekali tapol yang lain, yang akhirnya terpaksa dibebaskan.
Berdasarkan pengamatan terhadap sikap hidup dan juga pandangannya mengenai berbagai soal, maka tidak melesetlah agaknya kalau kita perkirakan bahwa Mahbub sekarang ini akan berdiri di barisan yang paling depan dalam memperjuangkan reformasi. Ia akan tegak berdiri sebagai reformis yang tulus dan tulen dalam membangkitkan dan memperbarui bangsa. Ia akan tegas ikut berjuang aktif dalam melawan KKN dan kebobrokan moral yang melanda negeri ini.
Seandainya ia masih hidup sekarang ini, pastilah hati Mahbub akan geram melihat terjadinya perpecah­an dan permusuhan antara berbagai komponen bangsa. Pastilah ia tidak menyetujui sikap sebagian golongan atau kelompok Islam yang justru membikin citra Islam tidak ramah, tidak toleran, picik, dan tidak berbudaya. Mahbub akan bergandengan tangan erat dengan para aktivis pejuang hak asasi manusia, yang terdapat dalam berbagai partai, LSM atau organisasi massa. Ia akan memberikan teladan bagaimana seorang Muslim harus bersikap terhadap sesama ummat, terhadap negara dan rakyat, dan terhadap ajaran-ajaran agama.

Buku Kumpulan  Artikel “Asal Usul”

Diterbitkannya buku (oleh Harian KOMPAS) yang berisi kumpulan sebagian tulisan Mahbub merupakan inisiatif yang penting untuk melestarikan karyanya, sebagai sumbangan seorang jurnalis, yang sekaligus juga sastrawan dan politikus. Karya-karyanya ini merupakan asset berharga bagi khazanah pustaka bangsa kita, yang disumbangkan oleh seorang warta­wan terkemuka, yang kebetulan juga tokoh muda Islam.
Buku setebal 397 halaman itu (yang diterbitkan tahun 1996 dalam rangka memperingati 100 hari wafatnya) memuat 120 tulisan singkat-singkat, padat, ringan dan enak dibaca. Bukan itu saja. Tulisan-tulisan itu secara jenaka, dan sering sekali dengan nada me­nyin­dir, mempersoalkan hal-hal yang sebenarnya adalah soal-soal besar dan penting mengenai kehidup­an bangsa dan negara. Dengan lincah dan halus ia mempersoalkan masalah demokrasi, hak asasi manu­sia, korupsi, kelakuan para pembesar, kebejatan moral, kehidupan rakyat kecil, dan berbagai persoalan masyarakat lainnya.
Saya masih ingat bahwa dalam kehidupan saya di Paris, setiap kali membaca tulisan-tulisannya di harian Kompas adalah hiburan yang menyegarkan. (Harian Kompas bisa kami baca, waktu itu,  bersama-sama dengan teman-teman Indonesia lainnya di Paris, dengan berlangganan secara kolektif. Sebab, berlang­ganan koran lewat pos udara ongkosnya mahal sekali. Karena itu kami urunan, dan membacanya secara bergiliran). Memang, membaca tulisan Mahbub sering memerlukan perenungan untuk betul-betul bisa meng­hayati isi yang tersirat atau maksud yang tersembunyi di balik kalimat-kalimat, yang kelihatan sederhana atau polos-polos saja.
Mahbub  menulis karya-karyanya itu selama sembilan tahun, ketika Orde Baru masih berkuasa. Artinya, ketika kebebasan menyatakan pendapat sedang dicekek, dan teror mental sedang merjalela dalam segala bentuknya. Oleh karena itu wajarlah bahwa Mahbub terpaksa menuangkan hati dan fikira­nnya dengan cara-cara yang tidak langsung, dengan bahasa yang tersamar, atau dengan cara halus. Ia terpaksa melakukan “sensor terhadap diri sendiri”, di samping ia memperhitungkan “sensor” yang lain-lainnya. Justru dalam suasana kepengapan udara yang menyesakkan waktu itulah maka tulisan-tulisannya lahir dan terasa enak dibaca.
Sekarang, rezim militer Orde Baru sudah jatuh. Seandainya Mahbub masih hidup pastilah ia meman­faatkan era kebebasan pers dan terbukanya ruang demokrasi untuk dengan gigih dan leluasa mengem­bang-biakkan pemikiran-pemikirannya, tanpa mem­bung­kusnya dengan tulisan-tulisan yang terkekang.

Mahbub, Sosok Pembaru Bangsa

Menengok kembali apa yang telah dilakukan oleh Mahbub semasa hidupnya, tidak alahlah agaknya kalau dikatakan bahwa ia merupakan salah seorang jurnalis, penulis dan politikus yang telah menempati kedudukan yang istimewa di kalangan keluarga besar NU. Sepuluh tahun ia memimpin harian Duta Masyarakat, tujuh tahun menjabat sebagai pengurus PWI Pusat (1963-1970), dan lima tahun sebagai Ketua Dewan Kehor­matan PWI Pusat (1973-1978). Ia pernah ikut mang­asuh  PMII dan membuatkan nyanyian mars gerakan mahasiswa Islam ini. Bertahun-tahun ia juga ikut menangani pengembangan Gerakan Pemuda Ansor, bahkan juga membuat lirik lagu marsnya.
Jelaslah, Mahbub adalah asset berharga yang per­nah dimiliki oleh NU. Tetapi, berkat sikapnya atau pandangannya yang luas, maka ia telah merajut persa­habatan dengan banyak pihak di luar kalangan NU. Banyak orang menemukan pada dirinya sosok seorang Muslim yang membawakan kehangatan sesama manusia, dan toleransi yang mengandung rasa saling menghargai. Ketika banyak orang masih takut berhubungan dengan para wartawan ex-tapol - atau bahkan memusuhi mereka – ia berani menggalang persahabatan dengan mereka.
Ketika sebagian dari kalangan Islam masih bisa dipengaruhi dan digunakan oleh rezim militer Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan Suharto dkk ia sudah mengambil sikapnya sendiri, dan tidak mau diajak untuk ikut-ikut atas nama agama menginjak-injak ajaran agama, dan ikut-ikut menjadi penyulut rasa permusuhan di antara berbagai komponen bangsa. Dalam situasi politik yang sulit dan rumit di zaman Orde Baru, ia telah menjadi panutan bagi banyak orang. Dengan cara-caranya sendiri, dan dalam keterba­tasan situasi politik waktu itu, Mahbub sudah tampil sebagai salah satu di antara berbagai sosok pembangkit dan pembaru bangsa.
Karenanya, Mahbub Djunaidi bukanlah hanya milik keluarga NU saja. Ia sudah menjadi milik kita bersama.
______________


(Penulis, lahir di Malang tahun 1928, adalah sampai September 1965 pemimpin redaksi harian Ekonomi Nasional di Jakarta, bendahara PWI Pusat periode kongres 1963, dan anggota sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Sekarang tinggal di Paris)

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 10:01 AM