Pram Melawan! Joesoef Isak/Hasta Mitra

Pram Melawan! Joesoef Isak/Hasta Mitra!

Hasudungan cs : Sang Pemula akhirnya terbit lagi...
      Pramoedya Ananta Toer : Ya, yang terbitkan anak saya sendiri, Titi. Nama penerbitnya Lentera Dipantara. Langsung jadi gerakan itu... Yogya itu.
      Hasudungan cs : Di Jakarta bukunya belum kelihatan...
      Pramoedya : Belum. Baru di Yogya. Ha... itu anak-anak Yogya yang mbongkar pembajakan buku saya. Wah... mbajak sampai tiga kali cetak, nampaknya itu. Sebenarnya dia membayar, tapi membayarnya bukan ke saya, kepada Joesoef Iskak (Isak -ed).
      Hasudungan cs : Bung tidak tahu?
      PAT : Nggak tahu saya.
      Hasudungan cs : Kalau memang bayar berarti penerbit itu tidak melanggar hak cipta Bung...
      PAT : Itulah, sudah teman, dikasih kepercayaan kok begitu. Ha... yang nyetak itu rupanya ketakutan, kemudian dia bayar sama (semua -ed). Jadi bayar dobel dia. Rugi 270 juta dia bayar. Saya nggak dikasih tahu teman itu. Hebat nggak -- teman yang dipercaya begitu.
      Yang 270 juga rupiah untuk hak cipta satu buku saja?
      Bukan. Ada 14 buku. Lantas saya putuskan aja: nggak ada hubungan lagi dengan Hasta Mitra. Seterusnya Titi yang nyetak semua.
      Berarti Hasta Mitra nggak boleh nyetak buku Bung lagi?
      Nggak lagi.
      Belakangan banyak buku Bung yang diterbitkan ulang Hasta Mitra.
      Sudah stop.
      Jadi nanti yang boleh beredar hanya yang diterbitkan Lentera Dipantara?
      He-eh. Ya. Jadi ketahuan sekarang. Nggak ada pembajakan lagi.
      Jadi tidak enak ya hubungan dengan teman lama...
      Ya. Itulah: gimana teman begitu. Hasta Mitra, tiga orang. Hasjim [Hasjim Rachman] begitu juga. Kalau ngomong yang begitu itu, "Satu sen pun uangnya Pram nggak ada yang kami ambil." Dua-duanya ngomong begitu. Dua-duanya ngomong juga, "Tanpa saya Pram itu nggak berarti apa-apa." Dua-duanya ngomong begitu. Ya saya diam ajalah, he... he... he...
      Beberapa orang, termasuk teman-teman Bung, mengatakan belakangan Bung jadi komersil betul. Semuanya serba uang.
      Saya hanya mau hak-hak saya sendiri. Lebih itu nggak. Nggak benar itu. Ngapain saya komersial. Empat tahun lalu ada orang mau memberi saya setengah miliar. Empat tahun yang lalu! Saya tolak. Saya nggak biasa terima uang pemberian orang. Kok sekarang dituduh komersial, he... he... he... Ya nggak tahulah. Yang memusuhi saya juga banyak. Kalau pembesar,

****

daftar pustaka
P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryati P, Rheinhardt,
      2011    Pram Melawan! Nalar, Jakarta, hlm. 300.

 ****

Pramoedya : ya semua praktis memusuhi saya dengan kekuasaannya. Dan bagi saya itu penghargaan, he... he... he...
      Hasudungan cs : Sayang sekali: akhirnya Bung bertikai dengan Hasta Mitra, penerbit yang sangat besar andilnya dalam penyebaran karya-karya Bung.
      PAT : Hasta Mitra itu dari saya semuanya, kan. Dari buku-buku saya itu mengeduk uang. Seperti yang terakhir itu: 270 juta, nggak liat saya barangnya. Untung ada gerakan pendukung saya di Yogya. Dia selidiki sampai percetakan-percetakannya. Kan mau mereka hancurkan percetakannya karena dianggap main kongkalikong merugikan saya. Saya bilang: "Jangan dulu. Nanti saya bicara dengan percetakan-percetakan yang melakukan itu. Pada datang kemari yang nyetak. Mbayar dan nggak mau ketemu Joesoef lagi.
      Ke depan bagaimana hubungan Bung dengan Hasta Mitra?
      Sudah nggak ada.
      Lalu hitung-hitungan modalnya?
      Sudah habis. Saya nggak mau dikotori otak saya oleh peristiwa-peristiwa begituan. Bukan soal uangnya. Wong persahabatan kok dibikin begitu. Belakangan ini ada orang bikin biografi saya. Lantas bersama Joesoef pergi ke Yogya ke percetakan itu minta uang. Dikasih 10 juta... orang itu cerita sama saya.
      Tetap akan terbit biografinya?
****
daftar pustaka
P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryati P, Rheinhardt,
      2011    Pram Melawan! Nalar, Jakarta, hlm. 301.

 ****

Pramoedya AT : Selanjutnya gimana biografinya saya nggak tahu. Karena nampaknya mereka juga menolak. Tadinya kan Hasta Mitra suruh nyetak. Nah sekarang nampaknya punya pengalaman dengan Hasta Mitra, ya, ngeri juga, he... he... he... Saya cerita ini karena Bung tanyakan soal Hasta Mitra.
      Hasudungan cs : Hasta Mitra sudah terlanjur identik dengan Bung, Pak Hasjim Rachman, dan Pak Joesoef Ishak [Isak -ed].
      Pramoedya : Hmmm. Sudah nggak mau saya dikotori otak saya dengan soal-soal itu. Lebih baik putus sama sekalian. Ha, sikap saya memang begitu. Jangankan dia: sama guru-guru saya aja putus!
      Hasudungan cs : Teman Bung lama Bung bukannya baik-baik?
      Rasa-rasanya banyak yang nggak baik. Saya pulang dari Buru teman-teman Buru lainnya pada datang ke rumah. "Bagaimana Pak, ini nggak bisa hidup". Saya beliin mobil. Beberapa puluh bulan kemudian sudah gundul bannya. Ada lagi teman waktu memberikan gaji mingguan itu, hilang bawa duit. Ada lagi yang datang ke tempat kerja bawa truk angkut bahan-bahan truk. Saya nggak ngerti. Akhirnya bubar ajalah... bubar! Setelah dua tahun. Bukan soal ruginya, kelakuannya. Orang yang solidaritasnya begitu tinggi waktu itu [di P. Buru] dengan saya juga ikut lari bawa uang. Sampai saya hilang kepercayaan pada orang.
      Mengapa mereka berubah?
      Karena kebutuhan keluarga. Tapi nggak pegang prinsip.
      Bung biasanya di Bojong Gede. Sejak kapan di rumah Utan Kayu ini?
      Kemarin. Cuma ini saya mau nginap lagi, besok meneruskan periksa pendengaran sama urusan LBH, nuntut rumah yang di Rawamangun kembali. Masak sudah berapa puluh tahun itu.
      Sekarang ditempati siapa?
Militer. Habis diobatin ini tadi [Pram memperlihatkan sebelah matanya]. Kalau dibuka dunia keliatan jernih, putih. Tapi, mata yang satu ini melihatnya lain: kuning dan dekil. Belum dioperasi yang kanan. Dua-duanya bermasalah. Ya, kalau baca begini ini. Tadi periksa mata untuk beli kacamata ditolak. Matanya harus diperiksa. Periksanya pakai cahaya. Harus ada izin dokternya.
      Kata dokter tadi apa gangguannya?
      Nggak ngomong apa-apa. Dokternya bilang sukses.
      Dioperasinya bagaimana?
      Dikikis, dikuliti itu mata. Sebelum sampai ke kornea ada katarak. Kataraknya disobek. Nyobeknya nggak langsung semuanya. Sedikit-sedikit itu tertariknya. Lantas terkelupas.
      Waktu dioperasi sakit?
****
daftar pustaka
P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryati P, Rheinhardt,
      2011    Pram Melawan! Nalar, Jakarta, hlm. 302.

 ****

Astuti Ananta Toer : Nasional, atau ke teman-temannya. Waktu mencari data itu biasanya, dia akan minta tolong, "Cari data-data mengenai ini ya." Terkadang saya pergi ke daerah untuk itu. Jadi nunggu saya cuti atau apalah. Kan kalau di perusahaan asing itu saya dua hari libur dalam seminggu. Saya di perusahaan asing itu jam-jam-an kerjanya. Berapa jam saya kerja. Kadang-kadang saya flexy time. Kadang saya datang jam 9 dan harus bayar jam yang ketinggalan.
      Hasudungan cs : Lalu sampai ke penerbitan baru itu bagaimana ceritanya? Kan hubungan dengan Hasta Mitra diputus dulu oleh Pak Pram...
      Astuti Ananta Toer : Oh... ceritanya panjang sekali. Mungkin ada hal-hal yang tidak enak yang tidak harus saya bicarain. Sebaiknya tidak.
      Lentera Dipantara kemudian muncul...
      Sebelumnya persiapannya memang sudah lama, dari tahun berapa itu... di tahun '90 Papi sudah bilang, "Nduk, terbitin buku papa." Terus dia bilang, "Kau terbitin aja sendiri, Nduk." Tapi saya masih menghormati teman-temannya. Kemudian lama-kelamaan mungkin ada hal-hal yang nggak enak terjadi. Papi itu kan orang yang keras. "Nduk, coba tanya mengenai pembukuan. Kalau kau tidak mau menerbitkan buku Papi kau duduk sebagai pengelola Hasta Mitra saja." Ternyata Hasta Mitra sendiri menolak karena anaknya mungkin yang mau di situ. "Kau periksa pembukuan itu," kata Papi di lain kesempatan. Terus dia bilang, "Aku mau melihat kau memarahi Joesoef [Joesoef Isak] di depan Papi. Kau tagih pembukuan."
      Mbak melakukan hal itu?
      Iya... permintaan Papi, "Kau tanya lagi," kata Papi. "Aku mau lihat kau lebih marah ke dia. Kau bentak dia."
      Tak lama kemudian ada award dari New York [New York Foundation of the Arts -- tahun 2000]. Papi dapat uangnya banyak. Ternyata, menurut Papi yang ia terima tidak segitu. "Setengahnya pun tidak. Nduk, ke mana uang ini..."
      Memang tidak ditransfer langsung ke rekening Pak Pram?
      Tidak. Tahun 2000 Papi ke Amerika. Udah merasa nggak enak saya. Ke Papi waktu itu Pak Joesoef bilang, "Sebenarnya Pak Pram itu dapat kursi pesawatnya di ekonomi. Saya yang di VIP." Dia bilang gitu dan itu bikin saya nggak enak... Gimana kok sampai bisa tertukar. Lama-lama dibilang, dia yang dapat undangan ke Amerika. Papi sebenarnya tidak diundang. "Jadi saya yang menganjurkan agar Pram diundang ke Amerika," katanya. Terus kan di situ saya nggak enak. Tapi saya nggak bilang sama Papi. Oleh sebab itu saya mau menunjukkan siapa itu Joesoef sebenarnya. Terus dia bilang pada teman-teman, "Pram itu tidak ada artinya apa-apa tanpa saya.
"

****
daftar pustaka
P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryati P, Rheinhardt,
      2011    Pram Melawan! Nalar, Jakarta, hlm. 494.

 ****
Astuti Ananta Toer : Dia bilang itu. Akhirnya saya mau nunjukin sekarang bagaimana sih dia tanpa Pram.
      Hasudungan cs : Ide penerbit Lentera Dipantara muncul dari situ awalnya?
      Astuti Ananta Toer : Sebenarnya itu ide anak-anak. Anak-anak Pramis itu; bukan saya sebenarnya. Karena mereka dengar Pram diperlakukan seperti itu mereka sakit hati semua lho. Karena Joesoef itu ngomong juga sama anak-anak, "Pram tidak ada artinya tanpa saya." Sebenarnya ngomongnya itu bukan sama saya. Sama anak-anak itu. "Kurang ajar banget sih Joesoef gitu. Gua bikin ntar penerbitan," kata mereka. Akhirnya mereka lakukan. Sebenarnya yang menerbitkan tadinya bukan saya, anak-anak itu.
      Hasudungan cs : Mujib dan kawan-kawannya?
      Astuti Ananta Toer : Bukan Mujib aja itu. Anak-anak Yogya. Orang Yogya itu yang kerjain. Makanya banyak yang salah kan. Ada yang salah kan.
      Asal-usul nama Lentera Dipantara sendiri?
      Lentera itu memang udah lama. Sebenarnya tadinya tujuannya Lentera itu mau bikin pendidikan gitu lho. Sekolah. Jadi kita mau bikin sekolah. Bagaimana cari bikin pendidikan untuk anak-anak yang tidak mampu. Tetapi kemudian beralih ke buku.
      Sekarang yang ngelola Mbak?
      Yang kelola saya. Sebagai perusahaan.
      Hubungan dengan Hasta Mitra putus sudah. Kalau mereka mau cetak karya Pak Pram masih boleh?
      Tidak. Copyright itu Papi sendiri yang pegang.
      Ada surat copyright-nya tidak?
      Tidak. Makanya kalau Papi lihat ada bukunya yang diterbitkan Hasta Mitra akan bilang buku bajakan. Karena Hasta Mitra tidak pernah meminta izin sama Papi untuk menerbitkan bukunya. Dia bilang yang dicetak 3.000 ternyata puluhan ribu. Kadang-kadang seperti ini: ada Arok-Dedes diterbitkan oleh Yogya. Bukan, Calon Arang, maksud saya. Saya kan tagih ke Yogya. "Mas Bondan, gimana pembayarannya, kok nggak bayar sih? Dibilang, "Saya udah kasih sama Pak Joesoef." Ceritanya begitu.
      Sekarang Mbak pakai distributor sendiri?
      Ya, sebagian. Sebagiannya hanya untuk sumbangan-sumbangan saja.
      Disain sampul terbitan Lentera Dipantara bagus-bagus ya...
      Ong [Wahyu si Ong], disainernya. Ada Ong, terus ada teman-teman kita. Kadang-kadang saya juga ke Ong. Ong itu nggak mau kasih harga gitu lho. Biasanya, Mas berapa? "Ah, kalau aku buat Pram tidak dibayar pun tidak apa-apa." Kadang-kadang aku malu digituin. Siapa pun, kita minta tolong begitu. Jangankan itu, percetakan juga begitu. 

****
daftar pustaka
P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryati P, Rheinhardt,
      2011    Pram Melawan! Nalar, Jakarta, hlm. 495.

 ****
 7

Ganyang Manikebu

Hasudungan cs : Bung menyatakan memang punya tujuan setiap kali menulis. Bukankah karena itu Bung dianggap ideologis?
     Pramoedya Ananta Toer : Itulah sebabnya saya bentrok dengan Manikebu. Karena untuk negara baru pengarang itu mempunyai tugas nasional. Tapi Manikebu kan mengajarkan kebebasan kreatif. Kebebasan kreatif artinya kebebasan juga untuk tidak mempunyai tugas nasional. Belakangan ini, dalam acara keliling Amerika saya berkenalan dengan seorang perempuan. Awalnya, dia terus mengikuti saya. Orang Yahudi, dia simpatik pada saya. Lantas dia menjanjikan akan membantu penerbitan saya sebesar 150.000 dollar Amerika. Setelah datang ke Indonesia, betul dia kirimkan 80.000 dollar. Dari jumlah ini untuk saya sendiri dia kirimkan 30.000 dollar melalui The New York Foundation for The Arts. Ya, untuk saya pribadi aja katanya, nggak perlu ada perhitungan. Tapi nggak kepada saya dikirim, sebab saya itu nggak pegang uang. Nggak apa. Saya ingat-ingat lupa nama orang itu. Saya buka-buka kembali di sini disertasi Davis Hill tentang Mochtar Lubis. Nama-nama itu sama dengan yang membiayai Manikebu segala. Kaplan. Ternyata dia anaknya. Jadi saya anggap orang ini sama dengan orang tuanya. Ayahnya milyuner Amerika, bisnisnya sepah tebu. Nah, ayahnya yang membiayai grup-grup yang menentang Soekarno termasuk Manikebu. Termasuk Mochtar Lubis segala macam. Tuan-tuannya milyuner sampah tebu. Kaplan milyuner, yang perusahaannya itu adalah pengolahan ampas tebu dari Kuba. Milyuner dollar, bukan rupiah. Semua ini diawali Conference for Cultural

****
daftar pustaka
P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryati P, Rheinhardt,
      2011    Pram Melawan! Nalar, Jakarta, hlm. 62.

Penerbit Nalar
Jalan Damai C8 - kompeks Kompas
Petukangan Selatan - Jakarta Selatan
Pimpinan JB Kristanto
Telp 021 736 2070
Email: Nalar@nalar.co.id
Website: httt://nalar.co.id

 ****
_____________________________________
Yth. Sdr. PTS
Kepustakaan Populer Gramedia
Jalan Palmerah Selatan 26-28
Jakarta 10270
Jakarta, 8 Maret 2000

Salam rekan,

Menjawab dan menindak-lanjuti pembicaraan kita di rumah saya beberapa waktu yang lalu, maka lewat surat ini ingin saya menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
      Pertama-tama ingin saya jelaskan ulang bahwa sebelum kedatangan sdr. dengan dua rekan sdr. ke rumah saya, Pramoedya terlebih dulu telah berkunjung ke rumah saya untuk membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan penerbitan buku-bukunya. Kesimpulan dari pembicraan itu secara harfiah diucapkan oleh Pramoedya dengan kata-kata: “Bung, uruslah semua! Saya tidak mau campur-tangan!” Rasanya ucapan itu tidak terlalu mengherankan bagi sdr., karena sdr. sendiri pernah mereka-reka bagaimana hubungan Pramoedya dengan saya. Ucapan Pramoedya tersebut merupakan juga jawaban atas “kesepakatan tanpa kata-putus” atas beberapa kali pembicaraan yang telah berlangsung antara bung Pram dengan sdr./KPG.
      Selanjutnya dua hari setelah kunjungan sdr. ke rumah saya, saya pun berkunjung ke rumah Pramoedya untuk melaporkan selengkapnya pembicaraan yang telah berlangsung antara sdr. dan rekan-rekan sdr. sebagai wakil-wakil pihak KPG dengan saya sebagai wakil Hasta Mitra. Pramoedya hanya mengulangi apa yang pernah dia ucapakan : “Saya serahkan sepenuhnya kepada bung! Bung sajalah yang putuskan!”
      Baik pula saya jelaskan di sini, bahwa Pramoedya kurang-lebih limabelas tahun yang lalu telah memutuskan mengangkat Mr. WS (William Morrow/Hyperion, New York) untuk mewakilinya di seluruh dunia (dan semua bahasa) dalam urusan hak penerbitan buku-bukunya – kecuali untuk bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Untuk kedua wilayah bahasa yang disebut terakhir itu, saya masih tetap bertindak untuk dan atas nama Pramoedya –- dalam hal ini sebagai literary-agent di samping sebagai editor dan penerbit.
      Dalam kapasitas itulah ingin saya sampaikan di sini keputusan final kami, bahwa setelah mempertimbangkan berbagai segi terkait -- dalam hal ini terutama makna historis eksistensi Hasta Mitra sebagai penerbit yang dikuyo-kuyo rejim Orde Baru --, bahwa Hasta Mitra akan menangani sendiri segenap penerbitan karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang kami sebut sebagai seri-terbitan Karya-Karya Pilihan Pramoedya Ananta Toer, termasuk di dalamnya cetak-ulang semua karya-karya Pramoedya yang dilarang Kejaksaan Agung semasa rejim Orde Baru. Kami kemukakan hal ini, sekedar untuk menjelaskan bahwa kami bukan tidak punya rencana besar untuk Pramoedya.
      Pada hakekatnya rencana Hasta Mitra seperti itu sudah tersusun segera setelah lèngsèrnya Jend. Suharto, namun rencana itu baru menjadi lebih pasti kerangka mau pun  jadwal kerjanya secara menyeluruh, sewaktu Pramoedya dan saya mengadakan perjalanan di bulan April, Mei, Juni tahun lalu ke Amerika Serikat, Kanada dan tiga negeri Eropa.
      Selain pertimbangan aspek historis, etik budaya mau pun aspek businessnya, kami juga berpendapat bahwa penerbitan karya-karya penulis besar seperti Pramoedya sepatutnya berada pada satu penerbit, tidak berpindah-pindah penerbit, apalagi “di-ècèr” ke beberapa penerbit. Situasi yang ideal seperti itu jelas tidak mungkin kami wujudkan semasa rejim Orde Baru yang bersikap beringas terhadap Pramoedya mau pun Hasta Mitra. Tetapi di Indonesia Era Baru yang jelas dapat lebih menghormati hak-hak azasi manusia di mana Hasta Mitra sedikit-banyak telah ikut menegakkannya -- dengan cara tetap ngotot menerbitkan karya-karya Pramoedya sekalipun tak henti-hentinya diberangus oleh kese­wenangan kekuasaan --, kami kini menggunakan kesempatan baik dari hasil gerakan reformasi ini untuk mewujudkan rencana dan cita-cita kami yang selama ini cukup lama ditindas dengan paksa itu.
      Dalam kaitan itu, saya -- juga atas nama Pramoedya –- ingin menyampaikan peng­hargaan dan terimakasih atas tawaran dan segala maksud baik KPG untuk menerbitkan The Complete Works of Pramoedya Ananta Toer. Penghargaan dan terima kasih ini berlaku juga bagi pihak-pihak lain yang telah meng-approach kami dengan tujuan-tujuan yang sama. Sikap terbuka sebagaimana saya pernah ucapkan kepada sdr. dalam pertemuan di rumah saya tetap berlaku bagi kemungkinan penjajakan berbagai bentuk kerjasama di masa depan; dengan memperhatikan apa yang kami uraikan di atas dan sesuai dengan segala kelaziman yang berlaku dalam dunia penerbitan buku.
      Demikian surat kami untuk dimaklumi dengan baik.
Salam,

Joesoef Isak
****
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 6:46 PM