Wow! Pramoedya

Wow!


Suatu hari yang cerah di kamp kerja paksa Buru. Pagi sekira jam 9. Kayu bakar hasil kapakan masih terserak sekitar kaki. Rasanya menyeka keringat pun belum tuntas, dan dia datang, diiringkan seorang tapol yang dengan isarat tangannya memberitahukan ada seorang perwira angkatan darat yang diantarkannya.
     “Pak Pram ya?” tegurnya dengan nada tinggi.
    Sebagai tapol yang dirampas semua haknya, kecuali hak untuk bernafas, dengan sendirinya langsung bersiap untuk menampung kepongahannya.
     Dan benar, dia langsung menetak:
     “Pak Pram tahu TimTim?”
     “Tidak.”
     “TimTim masa tak tahu? Timor Timor.”
    “Oh. Timor Timur.”
   “Tahu Timor Timur?”
     “Ya, baris bujur 125°.” Ia tak menggubris jawabanku dan meneruskan tetakannya:
     “Tahu? Kami akan memasuki TimTim. Hanya dalam dua hari, dan semua akan beres,” ia berbalik dengan gaya militer dalam ba­risan dan pergi. Dalam mengangkuti kayu kapakan ke dapur mendengung untuk ke sekian kalinya ucapan Chiang Kai Shek: Tak ada bangsa bisa dijajah oleh bangsa lain tanpa bantuan bangsa itu sendiri. Dan ucapan perwira angkatan darat itu? Wow! Kepongahannya cukup tinggi. Siapa namanya, apa pangkatnya, tidak perlu kuingat. Kepongahan itu adalah sikap korps-nya: angkatan darat yang menduduki negara maritim.
     Setelah pertemuan itu tak pernah terdengar berita tentang TimTim. Tak ada informasi tercetak mengunjungi tapol Republik Indonesia di Pulau Buru.
     Garis bujur 125° memang banyak mengandung pertikaian di AsiaTenggara. Di bagian utara Spanyol menduduki Filipina dan Mina­hasa di selatannya. Terselatan garis adalah TimTim yang dikua­sai Portugal. Spanyol diusir dari Filipina dan Minahasa. Menga­pa Portugal tidak terusir dari TimTim? Sebelumnya, walau ga­ris bujur ini ditentukan berdasarkan fatwa Vatikan sebagai ga­ris kekuasaan antara Spanyol dan Portugal, namun antara kedua­nya toh sering terlibat dalam pertarungan.
     Belanda berhasil menghalau Spanyol dan Portugal dari Indonesia. Mengapa TimTim tetap dikuasai Portugal? Tentang ini di Buru tidak ada tempat untuk bertanya. Lagipula untuk apa menambahi beban pikiran kalau status diri pun tetap tidak menentu?
     Kalau tentang kepongahan itu, wow, tanpa dipikir pun orang maklum. Maklum bagaimana? Ya, angkatan darat Republik Indone­sia belum pernah teruji oleh perang internasional. Seperti tentara Hindia Belanda (KNIL) dulu, pengalamannya hanya menundukkan rakyat Indonesia, terutama di desa‑desa. Wow!

Awal Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan dalam transit ke Buru beberapa tapol dipanggil untuk mendengarkan wejangan para perwira. Nusakambangan terletak di selatan Jawa Tengah namun tidak termasuk dalam administrasi Provinsi Jawa Tengah, tetapi langsung dalam administrasi Kementerian Kehakiman Republik Indonesia, karena pulau tersebut adalah pulau penjara. Ada sekitar 7 penjara di pulau kecil itu. Para narapidana melakukan kerja paksa mengurus perkebunan karet.
     Peristiwa yang satu ini tak juga mau dihalau dari ingatan. Sianghari. Para perwira menengah angkatan darat itu duduk berjajar menghadapi kami, para tapol yang akan diberangkatkan ke P. Buru. Sejak jadi tapol Republik Indonesia di hadapan para penguasa kami tahu harus berbuat bagaimana: dengarkan saja apa mereka bilang. Dan kami hafal apa yang telah, sedang, dan akan mereka katakan. Pendeknya cuma sebatas hàrus dan jàngan. Di luar yang dua itu, wow, jangan diharapkan.
     Seorang yang menyebut dirinya perwira penerangan mengatakan dengan nada standard kepongahan patent itu : “Tahu? Kalian akan diberangkatkan dengan kapal ke P. Buru, jauh, ya, jauh. Biar jauh P. Buru tetap tanahair kalian juga. Mengerti?”
     Siapa dia? Tak perlu dibaca nama pada dadanya. Yang bicara bukan individu, tapi korps‑nya. Dari kejauhan terdengar bunyi derung pesawat terbang. Makin lama makin mendekat. Perwira penerangan itu tetap meneruskan petunjuk‑petunjuknya. Ternyata pesawat itu melintasi pulau. Kami semua terbisukan dengan pandang tertarik ke atas. Begitu derung pesawat terdengar telah melewati kami, suara perwira itu menarik pandang kami dari atas pada wajahnya.
    “Jangan gubris pesawat itu. Pesawat kita. Bukan pesawat RRC yang akan menyelamatkan kalian. ‘Ngerti?!”
    Karena di antara kami tak ada yang menjawab, ia tingkatkan suara pongahnya: "‘Ngerti ?!"
    Salah seorang di antara kami menjawab pelan: "‘Ngerti, Pak."
    Yang lain‑lain juga mengerti.
    "Dan kalau tadi pesawat RRC," ia meneruskan sambil berdiri, mencabut pestol dan mengarahkan ke udara, "saya sendiri yang akan menembaknya jatuh."
    Wow!

Kemudian, pada akhir 1979 kami meninggalkan P. Buru, pulang ke Jawa. Dan: Wow, betul Indonesia telah masuk ke TimTim.
    Jajah! Demikian kata pokok dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Integrasi, kata rezim OrBa. Anschluss, kata Hitler. Wow, betapa dungu. Indonesia adalah nasion kedua yang membebaskan diri dari penjajahan Barat dan Jepang sekaligus. Yang pertama tentu saja Vietnam. Bung Karno adalah tokoh dunia pertama yang mendorong dan membantu bangsa‑bangsa Asia‑Afrika untuk juga membebaskan diri dari penjajahan. Negara‑negara penjajah satu demi satu melepaskan atau dipaksa melepaskan negeri‑negeri jajahannya. Dan anak‑anak para pejuang kemerdekaan sebelum PD II diajari membenci dan menjijiki penjajahan. Apa sekarang setelah Indonesia seperempat abad merdeka?
    Belajar menjajah. Belanda, sebuah negara di ujung utara dunia, seluas Provinsi Jawa Barat, telah ratusan tahun menjajah seluruh Indonesia. Sekarang Indonesia menjajah TimTim yang mungkin hanya sepersepuluh sebuah provinsi.
Penjajahan dalam era dekolonisasi. Bukan main. Memang Orba bersedia membayar apa saja asal memperoleh wah. Dan wah di kandang sendiri tentu. Di dunia internasional dipandang sebagai banyolan yang memilukan.
      Tahun 80-an sudah lewat. Nyatanya perlawanan terhadap penjajahan Indonesia di TimTim semakin menjadi‑jadi (penjajahan dikromokan menjadi integrasi). Informasi tertulis media masa memberitakan: sepertiga penduduk TimTim telah dibantai – penduduk desa yang tak tahu geografi. Dalam tahun 90‑an kanibalisme di TimTim terus berlanjut. Integrasi, integrasi, atas permintaan rakyat TimTim sendiri. Sedang yang tak pernah diucapkan: Celah Timor, deposit minyak dan gas bumi, lebih kaya dari Kuwait.
Seorang aktivis LSM Jepang dalam perjalanan pulang setelah habis memantau TimTim membisikkan: ada juga kanibalisme harfiah karena buruknya logistik. Benar‑tidaknya itu soal dia. Setidak‑tidaknya pembunuhan jalan terus demi untuk mendapatkan wah, bahwa Harto lebih besar dari Soekarno.
     Tahun‑tahun terakhir millenium kedua rakyat Indonesia yang dibikin merayap oleh Harto mulai bangkit. Mahasiswa menjungkalkan Harto. Habibie, anak emas dan mahasiswa Harto, naik panggung. Krisis mengamuk di berbagai bidang dibarengi dengan pembunuhan, penjarahan, perkosaan massal. Kepercayaan pada hukum dan kekuasaan ambruk. Rakyat yang dibikin merayap, termasuk para intelektualnya, mulai menyatakan diri. Polisi dan militer mulai dilawan. Riuh‑rendah bergalau di mana‑mana. Seorang penyair Indonesia kenamaan menyatakan dirinya malu jadi orang Indonesia. Tak jelas apa jasanya pada Indonesia. Setidak‑tidaknya ia tergulung kegalauan: malu pada dirinya sendiri.
     Tinggal sepuluh bulan lagi, dan ummat manusia akan memasuki millenium ke tiga. Bulan‑bulan genting, bulan‑bulan yang dibikin genting oleh elit Indonesia. Dan TimTim? Termasuk dalam keseluruhan kegentingan ini. Sejak jaman Kompeni Jawa dibuat menjadi pulau pengekspor pembunuh dalam rangka menggiring luar Jawa ke dalam kekuasaannya. Sejarah ini diteruskan oleh rezim OrBa dan OrBaBa. Tentu saja juga ke TimTim, dan ke mana‑mana di wilayah Indonesia, dengan atau tanpa seragam.
     Dan apa kegentingan menjelang millenium ketiga ini? Untuk bukan elit soalnya tentang kelangsungan hidup sebagai manusia sosial. Jadi soal yang sangat wajar. Bagi elit kegen­tingan itu mencekam, karena menyangkut jatidirinya sebagai elit dengan atributnya yang khas: pongah, haus wah, dan dungu. Masalahnya sangat sederhana: biarlah TimTim mengurus dirinya sendiri. Tak perlu menggaungkan suara kolonial dulu: oh, dia belum siap untuk merdeka. Oh kami bertanggungjawab atas TimTim – bumbu penyedap untuk fakta: kami tidak ber­tanggungjawab selama ini terhadap TimTim.
     Wow!
                                                
Jakarta, 11 Februari 1999­

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 11:06 AM