Peran Golongan Kiri di Masa Depan

Peran Golongan Kiri di Masa Depan
Hardoyo



Pengantar
Meramalkan masa depan, selamanya sulit, hanya paranormal yang paling berani, kalau meleset tak ada risiko apa-apa. Apalagi meramalkan tentang peranan golongan kiri, yang pengertian dan komposisinya berubah-ubah terus dalam perjalanan sejarah.
     Selain itu, sebenarnya undangan pada saya untuk hadir di sini ini salah alamat. Masa lampau saya tidak membekali cukup pengalaman dan pengetahuan untuk berbicara di forum ini. Karena itu apa yang saya sampaikan, mungkin terkesan spontan dan mengalir ini, merupakan rangkaian kesan dan kesaksian saya yang pernah saya ingat, saja alami dan mungkin harapan subjektif saya tentang masa depan. Saya meminta maaf, tidak sempat tersusun secara baik dengan mengacu pada sejumlah bahan bacaan dan arsip sebagaimana layaknya sebuah paper. Saya tambahkan juga kelemahan saya dalam bahasa pasti menyumbang bagi kesulitan penyampaian “bahan kesaksian hidup” saya ini.

Pengertian Golongan Kiri dalam Sejarah Indonesia 
Guru Sejarah di SMP di Indonesia – dulu pada tahun 50-an – mengajarkan bahwa pada jaman Revolusi Demokratik Prancis, mereka yang duduk di bagian kanan ruang sidang Majelis nasional Prancis disebut golongan kanan, sedang yang di bagian kiri disebut golongan kiri. Yang kanan pro bangsawan, yang kiri anti feodalisme.
     Sebutan “kiri” di Indonesia bermula pada dekade-dekade awal abad ke-20 yang disandang dan dialamatkan pada pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan. Polisi Rahasia Belanda (PID) bahkan menyempitkan lagi menjadi “kaum gumbinis”. Soalnya, karena rezim kolonial Belanda paling keras menindas apa yang disebut “pemberontakan komunis” tahun l926. Kurang lebih rezim kolonial Belanda menangkap 13.000 orang, menghukum 4.500 orang dan membuang ke Digul 1.300 orang.
     Pada tahun 1927 Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdulmadjid Djojoadiningrat dan Nazir Datuk Pamuntjak, keempatnya Pengurus Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda, ditangkap. Tahun berikutnya di Indonesia, Soekarno ditangkap. Semua pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan ini oleh rezim kolonial di cap “kiri’.
   Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, muncul aliansi golongan kiri dengan wama SAYAP KIRI. SAYAP KIRI ini menghimpun para pendukung Perdana Menteri Sjahrir dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin, yang didukung juga oleh Soekarno–Hatta, yang politiknya pro perundingan Linggarjati dengan Belanda. Jika istilah “kiri” dalam Sayap Kiri mengacu pada pandangan Marxisme, memang ada benarnya, mengingat di dalamnya ada pendukung kelompok Marxis Sosial Demokrat pimpinan Sutan Sjahrir dan kelompok Marxis-Komunis pimpinan Amir Sjarifoeddin, sedang aliansi BENTENG REPUBLIK yang menentang perundingan dan perjanjian Linggarjati terdapat juga kelompok Marxismenya Tan Malaka dan Ibnu Parna dkk. Walau demikian, Benteng Republik pantang menyebut dirinya golongan atau SAYAP KANAN. Yang jelas dalam kasus ini, politik SAYAP KIRI ternyata lebih moderat ketimbang politik BENTENG REPUBLIK.
     Pada awal 1948 SAYAP KIRI pecah, ditandai dengan perpecahan dalam Partai Sosialis menjadi dua, Partai Sosialis Indonesia atau PSI di bawah pimpinan Sutan Sjahrir dan Partai Sosialis di bawah pimpinan Amir Sjarifoeddin. Partai Sosialisnya Amir bersama PKI, Partai Buruh Indonesia (PBI) dan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO) membentuk aliansi baru bernama FRONT DEMOKRASI RAKYAT (FDR).
     Kedatangan kembali tokoh komunis sebelum perang dunia, Musso, dari Moskow ke Indonesia kira-kira Agustus 1948, mengubah orientasi politik FDR yang dulu pro perundingan dengan Belanda menjadi berkonfrontasi dengan Belanda atas dasar kekuatan Front Nasional dari semua kekuatan anti penjajahan. Selain itu, juga memfusikan semua kekuatan dalam aliansi FDR ke dalam satu partai Marxis saja, yakni PKI. Sepintas, nampak bahwa “koreksi” Musso itu dalam satu hal membenarkan politik kelompok Marxisnya Tan Malaka dan Ibnu Parna yang hanya mau berunding dengan Belanda atas dasar pengakuan resmi atas eksistensi Republik Indonesia di bekas Hindia Belanda ini.
     Saat itu memang ditandai mulai meningkatnya pengaruh Perang Dingin Amerika vs Rusia. Di Asia Tenggara, gerakan kiri komunis meningkat cepat. Maka ketika konflik antara golongan kiri komunis yang dipimpin kembali oleh Musso yang beroposisi terhadap kabinet presidensial Mohammad Hatta yang justru melaksanakan keputusan perjanjian Renville-nya Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, orang kemudian ada yang menafsirkannya sebagai bagian dari kebangkitan internasional gerakan komunis. Apalagi dimensi konflik itu kemudian menyangkut langsung imbangan kekuatan riil dalam militer.
     Perdana Menteri Hatta bertekad mau melaksanakan politik RE-RA atau Reorganisasi dan Rasionalisasi Militer. Walau rencana semula politik ini dirancang oleh kabinet Amir Sjarifoeddin, tapi oleh Perdana Menteri Hatta kemudian dilaksanakan sedemikian rupa sehingga merugikan posisi kelompok militer pro Amir. Bahkan Panglima Besar TNI Jendral Sudirman juga enggan melaksanakan RE-RA karena dianggap merugikan divisi divisi TNI di Jateng dan Jatim yang dikenalnya dari dekat sebagai anak buah. Sementara politik kelompok Marxisnya Sjahrir dan terutama kelompok Marxisnya Tan Malaka dengan Benteng Republik-nya paling keras menentang politik “jalan barunya” Musso, jelas sekali mendukung politik RE-RA-nya Hatta. Konflik elit ini merambat ke bawah, di kalangan militer dan massa. Maka, akhirnya konflik antar pasukan yang pro dan anti RE-RA di kota Solo, mendorong mencetuskan apa yang disebut PERISTIWA MADIUN September 1948, dan yang oleh pemerintah Hatta dan Presiden Sukarno disebut sebagai PEMBERONTAKAN KOMUNIS MUSSO DI MADIUN.
     Dalam penulisan kembali sejarah peristiwa Madiun l948, mungkin dua orang pelaku dan saksi yang kini masih hidup perlu didengar. Pertama, mantan Presiden Soeharto, yang pada 1948 masih berpangkat Letkol. Letkol Suharto dan Letkol Suadi Suromihardjo-lah yang diutus oleh Panglima Besar Jendral Sudirman ke Madiun untuk melihat sendiri apa yang sesungguhnya telah dan sedang terjadi di Madiun. Kedua, Soemarsono, yang kini bermukim di Australia, yang waktu itu Gubernur Militer di Madiun dan konon mengambil inisiatif membentuk Pemerintahan “Front Nasional” dengan alasan untuk mencegah “pengalaman Solo merembet ke Madiun”. Yang jelas, peristiwa Madiun 1948 gagal mencapai tujuannya karena tidak didukung oleh Soekarno–Hatta dan juga Jendral Sudirman.
     Pemerintah Belanda di bawah pimpinan PM Drees yang sosial demokrat itu melancarkan “aksi polisionilnya” yang ke-II atau tepatnya agresi militer ke-dua, 19 desember l948, untuk melenyapkan RI dari peta dunia.
     Perubahan konstelasi politik di Indonesia akibat terpukulnya golongan kiri komunis di Madiun, rupanya memperlancar tekanan dunia untuk penyelesaian damai masalah Indonesia. Maka digelarlah Konferensi Meja Bundar (KMB) akhir 1949 di Den Haag di mana hadir perutusan RI (Yogya) – Belanda – dan BFO (Badan Permusyawaratan Federal).
     Hasil KMB adalah kompromi yang dirasakan kurang menguntungkan R.I. Di bidang politik, terbentuknya negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana RI harus menerima “negara-negara bagian bentukan Belanda yang bergabung dalam BFO” sebagai mitra sejajar dalam kerangka Uni Indonesia–Belanda yang dipimpin Ratu Belanda. Tentara RIS merupakan gabungan dari tentara R.I. dengan tentara Belanda seperti KNIL dsbnya. Polisi RIS juga peleburan antara polisi R.I. dengan “polisi federal” yang dibentuk Belanda di kota-kota pendudukan Belanda. Maka tak heran bila muncul dari kekuatan bersenjata R.I. yang tidak puas menjadi “barisan sakit hati” atau bergabung ke DI/TII Kartosuwirjo. Sedang rasionalisasi terhadap sejumlah besar TNI menjadi Corps Cadangan Nasional (CTN) menimbulkan banyak soal yang tak mudah diatasi. Mereka merasa sebagai “sudah berjasa” dan “menjadi korban tidak keadilan”.
     Tak kurang pentingnya, orientasi baru yang cenderung menekankan profesionalisme tentara, mengakibatkan serangkaian peristiwa konflik internal militer, karena kelompok eks-R.I. yang menekankan “jiwa atau semangat juang 45” ketimbang “keahlian berdasar pendidikan” merasa mau dipinggirkan. Pegawai Negeri R.I. pun harus digabung dengan pegawai negeri federal yang semasa perang kemerdekaan berada di daerah pendudukan tentara Belanda. Sekalipun sebagian terbesar ini hanya terjadi di Jawa dan Sumatra, maka sejatinya pasca KMB bangsa Indonesia terbelah dua, golongan non dan ko, yakni non-kooperator Belanda atau pro RI dan golongan ko yang kooperator dengan Belanda.
     Menjadi ko, mungkin sebagian besar karena terpaksa. Karena itu kita bisa mengerti mengapa eksistensi RIS hanya mampu bertahan 8 bulan saja. Gerakan pro Negara Kesatuan RI di daerah-daerah bekas boneka Belanda, berhasil melikwidasi RIS bergabung kembali ke RI menjadi NEGARA KESATUAN RI dengan UUDS 1950 yang menganut sistem demokrasi parlementer dengan pasal pasal HAM nya yang relatif kuat karena mengacu pada Deklarasi Umum HAM PBB tahun l948.
Tuntutan penghapusan KMB sebenarnya cukup luas. Kaum buruh melihat dulu perusahaan-perusahaan yang tahun 45 diberi label “milik R.I.” kini harus kembali ke Belanda. Kaum tani penggarap tak senang karena tanah garapan yang mereka garap semasa revolusi yang hasilnya a.l. untuk memberi makan tentara kini harus kembali kepada pemilik semula sebelum perang. Entah apa hubungannya dengan kondisi kemelut masa transisi atau tracé baru itu, menurut istilah Bung Karno, maka kabinet Sukiman melakukan “razzia Agustus” terhadap para aktivis Kiri, terutama dari PKI, dijebloskan ke dalam kamp-kamp tahanan/penjara selama setahun lebih di berbagai kota penting di Indonesia. Menarik kasus ini di parlemen justru dibela oleh Tan Po Gwan dari PSI dan Tambunan dari Parkindo yang menilainya sebagai tindakan melawan hukum dan tak mengindahkan HAM.
Yang jelas pada masa itu kebangkitan gerakan buruh terorganisasi memperjuangkan perbaikan nasib sosial ekonominya menggunakan hak mogoknya cukup meluas dan mendapat pembelaannya di parlemen sementara R.I. Kesatuan. Juga kasus aksi tani mempertahankan tanah garapan yang menimbulkan kasus traktor maut Tanjung Morawa dan akhirnya mengakibatkan krisis kabinet tak lepas dari peranan parlemen sementara.
Pasca Peristiwa Madiun, berbagai penerbitan kiri PKI mengecap Soekarno–Hatta sebagai komprador imperialisme/kapitalisme. Tetapi tahun l950 muncul berita DN Aidit dan MH Lukman ditangkap dari atas kapal yang konon membawanya pulang dari luar negeri, namun segera dibebaskan walikota Jakarta Suwirjo (PNI) mengingat mereka pejuang 45. Dengan berita itu, terkesan DN Aidit dan MH Lukman tidak tahu menahu dengan peristiwa Madiun.
Pimpinan baru PKI di bawah Aidit segera menetapkan strategi nasional demokratisnya yang dalam batas tertentu berhasil merangkul berbagai kalangan, termasuk Bung Karno yang dalam kasus peristiwa Madiun l948 hanya menyalahkan “komunismenya Musso” saja. Pandangan PKI bahwa Revolusi Nasional belum selesai sama seperti pandangan Bung Karno. Revolusi Nasional dan demokratik, artinya bersifat anti imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Pendudukan Irian Barat oleh Belanda, dijadikan slogan “pemersatu bangsa” untuk menghadapi musuh bersama. PKI hanya memusuhi kapitalisme monopoli asing (yang tidak monopoli boleh) dan tidak mengganggu kepentingan kapitalisme nasional dan kapital domestik Tionghoa. Dalam program agrarianya, PKI memper­juangkan landreform yang terbatas atas prinsip tanah bagi petani penggarap dan jauh dari pikiran kolektivisasi tanah. Ketika mendukung Kabinet Wilopo (PNI), PKI merumuskan politiknya sbb: “mendukung kebijakannya yang maju, mengecam yang keliru dan melawan yang merugikan rakyat”, maka hubungan PKI dengan Bung Karno terkesan mulai pulih kembali.
Hasil pemilu pertama R.I. l955 mengejutkan banyak kalangan dan pihak. PKI muncul sebagai partai pemenang ke-4 setelah PNI, Masyumi dan NU. Sebaliknya kekalahan parpol- parpol lain yang tak terduga, termasuk “partainya Angkatan Darat” yakni IPKI, telah mengubah peta politik Indonesia. Apalagi kemenangan pemilu daerah hanya 2 tahun setelah itu, menjadikan PKI dari nomor 4 menjadi nomor 1 di Jawa. Kemenangan PKI memang mencemaskan banyak kalangan dan golongan non-kom. Namun bicara tuntutan pembatalan perjanjian KMB harus dicatat yang melakukannya adalah justru kabinet Burhanudin Harahap dari Masyumi.
Era demokrasi parlementer 1950-55/56 tersebut ditinjau dari mutu perdebatan di parlemen sementara dalam sejarah DPR di Indonesia diakui banyak orang sebagai relatif paling tinggi. Namun kemudian “oposisi ekstra parlementer” yang bau mesiu terhadap kabinet hasil pemilu yang dipimpin PM Ali Sastroamidjojo (dari PNI) memang mulai mencemaskan. Pemerintahan baru menghadapi “oposisi bersenjata” dari gerakan DI/TII nya Kartosuwirjo/Daud Beureueh/Kahar Muzakkar dan kemudian bersambung dengan apa yang disebut “pergolakan daerah” menuntut otonomi daerah dan porsi pembagian keuangan pusat-daerah yang adil, akhirnya memuncak pada pemberontakan PRRI/PERMESTA.
Peta politik mulai bergeser lagi. Perpecahan dalam militer, memungkinkan adanya kekuatan yang mendukung Bung Karno dan mampu menyelesaikan PRRI/Permesta dengan operasi militernya yang bergerak cepat di bawah pimpinan Nasution-Yani dan didukung oleh kekuatan politik yang pro negara kesatuan R.I., termasuk dukungan kuat dari PKI dan gerakan buruhnya.
 Selain itu sejak Maret l957 posisi militer kuat sekali karena diberlakukan keadaan bahaya perang atau SOB, yang didukung pula oleh PKI. Sebenarnya Bung Karno secara konstitusional adalah Presiden lambang atau stempel belaka. Tanggungjawab ditangan perdana menteri. Namun, karena pemilu tak jua menghasilkan kabinet yang kuat dan tahan lama, maka Bung Karno melontarkan berbagai ide pembaruannya. Misalnya Konsepsi Presiden februari l957 tentang kabinet gotong-royong 4 kaki, dan pembentukan Dewan Nasional yang menghimpun suara golongan fungsional atau nanti disebut “golongan karya”, termasuk golongan angkatan bersenjata.
Sementara persidangan Majelis Konstituante yang bertugas menyusun Konstitusi Baru R.I., di satu pihak berhasil sukses menyusun ketetapan HAM yang mengacu pada Deklarasi Umum HAM PBB tahun 1948 dan prinsip-prinsip masyarakat demokratis, namun di pihak lain gagal mencapai kesepakatan mengenai DASAR NEGARA. Pemungutan suara di Konstituante beralangsung sampai diulang tiga kali. Memang dasar Pancasila menang tipis (hanya selisih suara 40-an), dan tak memenuhi syarat keabsahan. Seandainya PKI tidak memilih Pancasila, atau abstain atau mengajukan dasar lain seperti Partai Murba dkk yang semula mengajukan dasar Sosial-Ekonomi, maka dasar Islam akan menang, tapi juga menang tipis dan tak memenuhi persyaratan keabsahan. Suara PKI dkk berjumlah kurang-lebih 60-an kursi, termasuk dari fraksi pendukung proklamasi yang dipilih melalui daftar orang tidak berpartai dari daftar pencalonan yang diajukan oleh PKI.
Sebelumnya dalam kondisi politik yang dinilai mulai alami krisis, sehingga Presiden Sukarno sulit membentuk kabinet dengan perdana menteri tokoh partai, maka Presiden menunjuk “dirinya sendiri” sebagai formatir kabinet. Maka jadilah tokoh teknokrat non- partai DJUANDA sebagai Menteri Pertama, dan dalam kabinet duduk juga para ahli dari sipil dan militer.
Posisi militer secara politik kian kuat. Dalam politik “jalan lain” pembebasan Irian Barat, pihak militer membentuk badan-badan kerjasama dengan ormas seperti BKS Pemuda-Militer, BKS Buruh-Militer, BKS Wartawan-Militer, dsb. Maka proses ambil-alih perusahaan-perusahaan Belanda berjalan lancar sekali, dan kemudian pimpinan perusahaan pun berada di tangan militer, mengingat masih berlakunya keadaan bahaya perang atau SOB.

Bung Karno melontarkan ide demokrasi kerja di Jerman dan kemudian digarap di dalam negeri, terutama oleh Dewan Nasional menjadi demokrasi terpimpin sebagai jalan keluar dari sistem demokrasi liberal yang rentan dengan krisis.
Bertemunya kepentingan Bung Karno, parpol-parpol ormas-ormas yang sejak lama mendambakan beralihnya sistem multi-partai menjadi sistem partai-tunggal, serta kepentingan militer yang kuat untuk terjun ke dunia politik, berpuncak pada lahirnya Dekrit Presidem/Panglima Tertinggi ABRI untuk membubarkan Majelis Konstituante dan memberlakukannya kembali UUD 45 dalam rangka melaksanakan demokrasi terpimpin.
Maka sejak 5 Juli 1959 sampai l oktober l965/ 11 maret l966, sejatinya itulah kurun waktu Bung Karno berkuasa sebagai presiden penuh dalam sistem presidensial kabinet. Di dalam praktek dalam setiap pengambil keputusan penting Bung Karno meminta dukungan atau kemudian didukung oleh kekuatan politik Nas–A–Kom–Mil. Jangan lupa Mil-nya, sebab suara Mil ini amat menentukan.
Pada era 1959–1965, Sidang Umum MPRS selalu mendukung ide besar Bung Karno untuk membangun Sosialisme à la Indoenesia yang juga ditafsirkan sebagai sosialisme religius. Pencapaiannya dalam dua tahap, revolusi nasional demokratik dan revolusi sosialis. Dalam analisis dunianya, berbeda dengan pandangan kebanyakan tokoh sosialis dunia, Bung Karno menyerderhanakan konflik besar dunia ke dalam “the old established forces” (oldefos) versus “the new emerging forces” (nefos). Pada hari sarjana Universitas Indonesia september 1963, Presiden Soekarno menjelaskan, nefos terdiri dari kekuatan rakyat di negeri terjajah dan yang baru merdeka, kekuatan negeri sosialis dunia dan kaum progresif di negeri kapitalis. Berulangkali Bung Karno menegaskan bahwa “revolusi Indoensia adalah revolusi kiri”.
Pagelaran kekuatan nefos ini pernah dilakukan dalam pesta olahraga nefos atau Ganefo (Games of the New Emerging Forces) di Jakarta menyusul keluarnya Indonesia dari keanggotaan IOC Olympiade.
Konsep pembangunan berdikarinya Bung Karno sebenarya pisau bermata dua, menentang pembagian kerja dunia kapitalis dan sekaligus juga tidak menyukai pembagian kerja à la Comecon di bawah pimpinan Uni Sovyet. Dalam visi ini, mungkin Soekarno lebih dekat ke RRC dan Korea Utara, yang tinggi sekali kadar harga diri nasionalismenya dalam rumusan pembangunan ekonomi berdikari, dengan pertanian sebagai dasarnya dan industri sebagai tulangpunggungnya.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan dukungan/bantuan negeri-negeri sosialis terutama Uni Sovyet membuat Indonesia secara militer, terutama Angkatan Udaranya, terkuat di belahan bumi selatan. Sementara konfrontasi Indonesia terhadap apa yang disebut proyek “Malaynesia Raya” menyusul keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, membuat cemas tak sedikit negeri Barat mau pun negara-negara sahabat. Apalagi segera terbaca apa yang dimaui Bung Karno yang seringkali mengecam PBB, dengan persiapan menyelenggaraan CONEFO atau Conference of the New Emerging Forces States. Indonesia dituduh membuat tandingan PBB, dan membuat dunia tak lagi semata ditentukan di Washington atau Moskow, tetapi juga di tentukan di Jakarta.
Selain itu Hari Ulang Tahun ke-45 PKI yang dirayakan secara besar-besaran dan spektakuler dengan unjuk rasa kekuatan buruh dan drumband pemuda rakyat pada Mei 65 dan yang dihadiri Presiden Soekarno dan sementara pemimpin negara sosialis telah mempercepat kristalisasi baru kekuatan politik anti-komunis. Soalnya, aksi-aksi buruh di kota dan “aksi-sepihak” di desa oleh BTI, melawan apa yang disebut “setan kota” dan “setan desa” memang membuat gelisah banyak kalangan non-kom. Selain kedekatan PKI dengan bung Karno makin menyolok, sementara media massa makin membeberkan berbagai konflik antara PKI versus TNI-AD.
Pada era demokrasi terpimpin inilah pemerintah membubarkan Masyumi, satu dari 4 partai pemenang pemilu 1955 yang pengaruhnya besar di luar Jawa. Nasib serupa dialami dua partai Marxis, yakni PSI dan partai Murba.
Beberapa hari setelah Murba dibubarkan, Menteri Pendidikan yang dikenal dari Partai Murba, mengatakan kepada saya: “Sampai hari ini dua partai Marxis telah dibubarkan, tinggal satu lagi PKI. Dalam sejarah kemerdekaan, peranan ketiga partai ini sama-sama besar dan penting, tapi mereka tidak pernah bisa bekerjasama atau bersatu. Saya khawatir, nasib serupa akan menimpa juga PKI, entah kapan.”
Maka tak lama kemudian, meletuslah tragedi nasional gerakan militer G30S 1965, di momentum Perang Dingin memuncak. Apa yang terjadi anda semua tahu. Juga kini mungkin anda mulai mengikuti terungkapnya bahan demi bahan baru yang mungkin akan membantu pengkajian ulang dan penulisan kembali kasus G30S 1965. Peristiwanya sendiri telah menyejarah.
Yang jelas, G30S l965 segera diikuti dengan politik pembasmian sampai seakar-akarnya PKI dan semua pengikutnya. Menyusul kejatuhan Soekarno melalui Surat Perintah 11 maret l966 yang segera diikuti dengan penyingkiran orang-orang Soekarno dari semua badan dan lembaga penting negara. Ada yang berpendapat bahwa G30S itu sasaran antaranya ialah PKI, sedang sasaran utamanya Soekarno. Tanpa dukungan PKI yang memiliki pengaruh besar di kalangan kaum buruh dan tani, Soekarno akan lebih mudah ditumbangkan. “Revolusi telah memakan putra-putranya sendiri, kata Bung Karno akhir 1965. Rupanya kini mulai terungkap dari wawancara Letjen Purn Kemal Idris di tabloid Symponi no. minggu akhir Pebruari 2000, bahwa SuperSemar adalah kudeta, karena ia sendiri yang ditugasi Soeharto untuk memimpin pasukan tanpa identitas mengepung Istana Merdeka. Dan pada 13 Maret l966 sebenarnya Presiden Soekarno mencabut kembali surat perintah 11 Maret 66 yang memberikan pelimpahan kekuasaan kepada Jendral Soeharto.
Untuk mempertanggung-jawabkan terjadinya pembunuhan massal terhadap PKI dan para pengikutnya, maka pemerintah berkepentingan untuk menetapkan mereka secara keseluruhan terlibat pada pembrontakan G30S/PKI yang berjalan sehari itu. Untuk menyelesaikan kasus tahanan politik G30S yang masih hidup, maka para tahanan dibagi dalam golongan A yakni mereka yang terlibat langsung dalam gerakan dan tahanan B yakni mereka, para kader, yang terlibat secara tidak langsung. Sedang golongan C terlibat secara tidak langsung, terdiri Cl yakni mereka yang memiliki anteseden terlibat dalam “Peristiwa Madiun 1948” dan golongan C2 yakni simpatisan serta golongan C3 yakni massa. Kemudan golongan A diadili, dan golongan B laki-laki umumnya diasingkan ke pulau Buru, bagi tapol perempuan ke Plantungan.
Untuk membenarkan anggapan bahwa penyebab pokok keterlibatan orang dalam G30S sesungguhnya karena mereka menganut pola berpikir Marxisme, maka Sidang Umum MPRS Juni l966 itu juga mengeluarkan Ketetapan MPRS no. 25 tahun 1966 tentang pelarangan mempelajari dan menyebarluaskan ideologi Komunisme/Marxisme dan Leninisme.
 Pada Desember l965 Presiden Soekarno sudah melihat tanda-tanda ini, dan meng­ingatkan bahwa “manusia tidak bisa membunuh ide”, karena di negara hukum manusia hanya bisa dihukum karena perbuatannya, bukan karena pikirannya.
Juni l966, Soekarno resminya masih Presiden R.I., namun kekuasaannya praktis sudah tidak di tangannya lagi. Bahkan dengan keluarnya Ketetapan MPRS no.25/l966, Soekarno terkena vonis juga. Ajaran Soekarno, Marhaenisme yang ia jelaskan sebagai “penerapan Marxisme dalam situasi dan kondisi Indonesia”, otomatis menjadi barang terlarang juga. Sejumlah literatur dan penerbitan apapun dan manapun yang dianggap penguasa “berbau Marxisme” lenyap dari toko buku dan rak perpustakaan. Bahkan siapa saja yang keda­pat­an menyimpan buku-buku itu, terkena pasal “subversif”
Sejak itu melawan komunisme bagaikan melawan “hantu”, kata almarhum Mahbub Djunaidi, karena orang tak tahu lagi apa itu komunisme yang harus dilawannya. Namun korbannya kongkret juga, setiap gerakan moral atau politis yang mengecam Orde Baru, terutama dari kalangan kaum terpelajar dan mahasiswa, dengan mudah dicap disusupi PKI atau dipengaruhi ajaran kaum “kiri baru” yang datang ke Indonesia melalui dunia Barat kapitalis.
Jika pada era Demokrasi Terpimpin, Bung Karno merumuskan revolusi Indonesia ada­lah kiri karena anti imperialisme, kapitalisme dan feodalisme, bersokoguru kaum buruh dan tani, maka “Demokrasi Pancasila”nya Soeharto yang secara tak langsung mengaku diri berposisi “ekstrem tengah”, mengingat musuh utamanya adalah ekstrem kiri, maksudnya komunis dan ekstrem kanan, maksudnya Islamnya DI,  sedangkan sokogurunya adalah tritunggal Militer–Teknokrat–Pengusaha.
Walau kediktaturan Orde Baru demikian kokohnya, maka perlawanan masyarakat sesungguhnya selalu ada bagaikan air mengalir. Kritik terhadap konsep pembangunan Orde Baru, munculnya study club di kalangan mahasiswa, bangunnya LSM-LSM dan terbitnya sejumlah majalah dan buku buku baru sungguh memberikan warna lain dalam dunia pemikiran di Indonesia.
Begitu kami bebas dari tahanan akhir l979, kami melihat LP3ES dengan PRISMA-nya sebagai “pembawa pemikiran kiri” berhadapan dengan teori modernismenya para teknokrat pembangunan. Berbagai tulisan Dawam Rahardjo mungkin banyak merangsang para pembaca, terutama generasi muda, untuk mempelajari lebih jauh tentang Marxisme.
Apalagi ketika kami sempat membaca penerbitan Lembaga Studi Pembangunan Adi Sasono dan karya bersama Adi Sasoni dan Sritua Arief, “Ketergantungan dan Keterbelakangan” (LSP 1981), di dalamnya jelas terbaca “pertempuran teori” antara modernisme yang menguasai pemikiran kaum teknokrat birokrat versus penganut teori dependencianya tokoh Neo Marxis Amerika Latin, André Gunder Frank. Belum lagi kalau kita membaca di berbagai media, tulisan Arief Budiman yang terus terang memihak sosialisme.
Kalau memperhatikan LSM-LSM di Indonesia pada tahun l970-an, maka tampak mulai tampilnya tema kemiskinan akibat pembangunannya Orde Baru dan Tata Sistem Ekonomi Dunia. Pada tahun 80-an, tema tema mengenai HAM, demokrasi, perempuan, lingkungan dan buruh mulai marak. Di sini pemikiran Gramsci dan mazhab Frankfurt mulai banyak bicara. Pada tahun 90-an tema tema HAM, demokrasi, civil society, perempuan dan juga anti-militerisme dan anti modal-asing mulai menjadi agenda mereka.
Sementara itu gerakan buruh membela nasib sosial-ekonominya dalam tuntutan kenaikan UMR dan syarat-syarat kerja lebih baik mulai muncul di sana-sini. Begitu juga gerakan tani untuk mempertahankan tanah garapannya atau hak miliknya, muncul di mana-mana. Kekalahan aksi mereka merupakan pendidikan politik juga. Anehnya, keberhasilan tertentu aksi-aksi mereka belum atau tidak meningkatkan mereka ke dalam gerakan baru yang lebih terorganisasi secara modern. Terkesan, gerakan mereka masih terbatas untuk isu tertentu. Kondisi ini mungkin dampak dari kuatnya represi rezim dan tuduhan komunis atas setiap aksi yang melibatkan massa banyak.
Orang tak habis pikir, mengapa Presiden Soeharto yang begitu kuat akhirnya bisa dijatuhkan oleh gelombang aksi-aksi massa demokratis yang dipelopori mahasiswa dengan ujung tombak melawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada 21 mei 1998. Prof. Dr Jeffrey A.Winters, penulis buku “Power in Motion” atau “Modal Berpindah – Modal Berkuasa” dalam peluncuran bukunya di Jakarta awal 1999, mengungkapkan data sejarah penting, bahwa pada Desember 1997 para investor asing serempak dan serentak memindahkan modalnya keluar dari Indonesia. Maka kurs l dollar AS dalam tempo pendek meroket mendekati 20.000 rupiah. Dan ambruklah ekonomi nasional Indonesia. Krisis Moneter dan Kriris Kepercayaan pada Pemerintah berpasangan.
Demikian cepatnya peristiwa ini terjadi, sampai para mahasiswa sendiri dan masyarakat umum tidak percaya. Akibatnya para mahasiswa dan para pejuang reformasi tidak segera tahu apa yang harus segera direformasi dulu. Mereka lebih asyik tenggelam dalam euphoria. Mereka lupa bahwa untuk keberhasilan reformasi tidak hanya penggantian presiden, tetapi juga penggantian aparat birokrasi sipil dan militer yang bakal menjamin sukses reformasi.
Masa emerintahan transisi B.J. Habibie dan awal pemerintahan baru di bawah Presiden Gus Dur, sesungguhnya merupakan pendidikan politik massa tentang bagaimana berdemokrasi, bagaimana menjunjung tinggi HAM dan bagaimana memperjuangkan keadilan sosial. Soal siapa yang disebut golongan kiri atau kanan seakan lenyap dari pembicaraan sehari-hari. Orang lebih menjumpai pada pertarungan pemikiran dan sikap yang mau mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan melawan mereka yang sering disebut sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang mempertahankan status quo. Dan masa pertarungan ini agaknya masih jauh dari final pertandingan.

Mencari Wisdomnya Pelajaran Sejarah
Rasanya judul ini terkesan “sok” , jelas urusannya para pakar. Namun, tentu tak terlarang, bila orang-orang awam seperti kami mencoba bicara mengenai masalah perubahan sejarah dan peranan para pelaku pengubah sejarah.
Bicara perihal revolusi, maka revolusi revolusi di Inggris 1688, revolusi Amerika 1775 dan revolusi Perancis 1789, setelah pergulatan ratusan tahun barulah mencapai demokrasi, supremasi hukum dan pelaksanaan HAM. Tetapi itu pun toch masih dengan beberapa catatan. Sedang revolusi Tiongkok tahun 1911, revolusi Oktober Rusia 1917 dan revolusi l945 Indonesia, jalannya terseok-seok dan dan kadang mundur balik, serta belum dapat dikatakan mencapai demokrasi, supremasi hukum, apalagi pelaksanaan HAM. Mengapa demikian? Mengapa revolusi di abad XX kurang berhasil? Banyak jawaban tentu.
Dulu pada tahun l960-an, saat Bung Karno menganjurkan agar Marxisme dipelajari di semua lembaga pendidikan termasuk mata pelajaran dalam indoktrinasi Manipol-Usdek, tak sedikit anak-anak muda percaya hari esok Indonesia pasti sosialisme, apapun predikat di belakangnya. Orang percaya akan kebenaran MDH, Materialisme Dialektika Historis yang sering dipidatokan Bung Karno sebagai “keharusan sejarah”, bahwa sejarah masyarakat memang benar berkembang menurut urutan : Oer komunis – Perbudakan – Feodalisme – Kapitalisme – Sosialisme. Tetapi begitu kubu sosialis pecah antara Uni Sovyet vs RRC, dan kemudian RRC menuduh Uni Sovyet sebagai menempuh jalan balik atau restorasi ke kapitalisme (paling tidak telah membangun kapitalisme negara) dan kemudian konflik antar sesama “negara sosialis” juga bisa antagonistik, maka mulai muncul banyak keraguan akan kebenaran keharusan sejarah menurut teori MDH itu.
 Sementara itu, jika kita simak faktor-faktor pendorong perubahan di Indonesia selama ini, faktor luar atau internasional agaknya selalu lebih dominan ketimbang faktor dalam negeri. Misalnya kalau tidak ada faktor Perang Dunia ke–2 dengan kemenangan Front Demokrasi dan kekalahan Fasisme, tidak mungkin Indonesia memproklamasikan kemerdekaaannya pada l7 agustus l945. Juga ditariknya pasukan Belanda meninggalkan Indonesia 1949 dan penyelesaian masalah Indonesia–Belanda melalui Konferensi Meja Bundar hanya mungkin terjadi berkat tekanan internasional melalui PBB. Demikian juga penyelesaian masalah Irian Barat, yang nyaris membawa ke tepi perang besar, dapat diselesaikan melalui perundingan berkat tekanan dunia melalui PBB.
Peristiwa tragedi G30S tahun l965 dan jatuhnya Bung Karno, menurut Bapak Soebadio Sastrosatomo, dipahami sebagai dampak Perang Dingin, bahkan juga yang terjadi dalam ekses-ekses sejarah revolusi kemerdekaan. Peristiwa “lengsernya Soeharto” mengacu kepada pandangan Jeffrey Winters, agaknya tak lepas dari pengaruh keputusan para investor yang serentak dan serempak memindahkan modalnya dari Indonesia Desember 1997.     Lalu bagaimana dengan peranan para pelaku perubahan di Indonesia sendiri, ambillah peranan partai politik sebagai instrumen modern penggerak dan pengorganisasi massa?
Orang tak mungkin menyangkal kontribusi partai dalam penyadaran massa dan menggerakkan massa dalam perjuangan kebangsaan dan kemerdekaan. Namun orang pun sulit menyangkal bahwa di momen-momen perubahan sejarah, partai-partai terkesan kurang atau absen tampil ke depan. Misalnya sebelum l928 telah ada partai-partai. Tetapi peristiwa “Sumpah Pemuda 28-10-1928’ bukan produk partai, tapi produk gerakan pemuda, walau kemudian partai banyak memanfaatkannya.
Peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17-8-1945, jelas peranan pemuda sangat menonjol dan memimpin, sampai ada yang menyebut Revolusi Pemuda. Partai-partai secara resmi baru bangun setelah Maklumat X Wakil Presiden Hatta pada 3 november 1945 yang menyerukan rakyat agar membentuk partai-partai politik.
Dalam dua peristiwa kejatuhan, Presiden Soekarno pada l965 dan Presiden Soeharto pada l998, partai politik tidak muncul sebagai pendorong kejatuhan keduanya maupun pembela keduanya secara terang-terangan. Sekali pun tak juga di kesampingkan peranan parpol di jaman Demokrasi Terpimpin yang anti Soekarno maupun peranan PDI  Megawati yang direpresi habis-habisan oleh Suharto. Dalam batas-batas tertentu, mereka memang berlawan.
Gerakan mahasiswa sekarang boleh kecewa, walau mereka tercatat sebagai pelopor gerakan reformasi, toh yang bisa main dalam tindak lanjutnya adalah partai-partai peraih suara dalam pemilu Juni 1999, sedangkan militer, birokrasi lama tetap masih bercokol di semua bidang, para kroni Soeharto pun relatif masih bertahan di segala bidang. Tetapi itu sudah “pas”, mengingat mahasiswa umumnya selalu mengklaim dirinya, kekuatan moral dan bukan kekuatan politik, kecuali Partai Rakyat Demokrasi (PRD) yang kader pimpinannya kebanyakan datang dari gerakan mahasiswa.
Pelajaran sejarah lainnya yang mungkin perlu kita amati ialah sisi lain dari gerakan reformasi damai yang bisa terjadi bila gerakan reformasi itu dihambat. Jika benar kekuatan status-quo yang bertahan terus sampai pada puncak frustrasi, maka menurut sementara media tidak mustahil mereka melaksanaan ajaran Pangeran Sambernyowo dari jaman kerajaan kerajaan di Jawa Tengah. Ajaran itu berbunyi, TI JI TI BEH, ARTINYA MUKTI SIJI MUKTI KABEH, atau berjaya satu berjaya semua, sebaliknya juga MATI SIJI MATI KABEH, atau mati satu mati semua, maka akan tak terbayang akibatnya. Mungkin ada benarnya pendapat, bahwa kita kini sudah mulai merasakan dampak atau akibat teori putus asa itu.
Sebaliknya, juga jangan dianggap sepi putusan massa yang sepanjang hidupnya direpresi terus-menerus. Kaum buruh putus-asa membakar perusahaan, kaum tani merampas hasil perkebunan atau massa membakar bangunan umum adalah “ideologi ti ji ti beh” juga walau dari posisi yang berlawanan. Jika yang terakhir ini sampai terjadi berulang-kali, maka kesalahan harus ditimpakan kepada partai-partai politik pro reformasi yang gagal memberikan pendidikan politik pada massanya.
Kadang orang pun melihat akan romantisme radikal gerakan mahasiswa atau anak- anak muda. Karena mereka terlalu lama menderita akibat tekanan dan kekerasan penguasa, maka mereka menjumpai suatu keasyikan romantisme tersendiri bila terlibat dalam aksi yang keras. Mereka kadang bahkan “kecewa” bila isu aksinya sudah diambil alih oleh parpol atau pemerintah, dan belum memahaminya sebagai buah aksi mereka di masa lalu.
Pemerintah K.H. Adburrachman Wahid–Megawati Sukarnoputri berjanji akan melan­jutkan terus reformasi damai secara konstitusional menuju apa yang disebut Gus Dur sebagai “proklamasi kemerdekaan” yang kedua, yakni Indonesia Baru yang demokratik, berkeadilan sosial dan maju.
Namun siapa pun yang memerintah di Indoensia sekarang, mau tak mau menghadapi warisan sejarah masa lampau yang secara tak sadar menawan generasi sekarang, yang jika tak diselesaikan dengan bijak dan tepat, akan sulit berkembang sebagai potensi bangsa yang utuh dan produktif. Warisan sejarah ini ialah buah dari berbagai tindak pelanggaran berat HAM di masa lalu. Kini kita boleh bergembira bahwa pengalaman komisi kebenaran dan rekonsiliasi nasional yang pernah terjadi di Afrika-Selatan dan beberapa negara lain tengah dipelajari oleh Pemerintah maupun kalangan masyarakat. Namun komisi kebenaran dan rekonsiliasi jelas akan lebih sulit ketimbang apa yang pernah terjadi di negara-negara lain, mengingat luas wilayah Indonesia dan besarnya jumlah penduduk, serta besar dan kompleksnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi hampir di semua wilayah Indonesia.
Mudah-mudahan apa yang pernah diingatkan oleh Riswanda Imawan pakar UGM pada tahun l994-an, bahwa rekonsiliasi nasional masih sulit diwujudkan, manakala masih kuatnya “budaya tumpas kelor” atau “politik melenyapkan lawan politik” seperti jamannya Amangkurat dari dinasti raja Mataram. Karena itu proses mulai bekerjanya komisi kebenaran dan rekonsiliasi itu harus serempak dengan adanya gerakan kebudayaan bangsa melawan “ideologi tumpas kelor” atau yang sejatinya mau menegasi realita masyarakat pluralis Indonesia.
Sementara generasi kakak saya, sering mengingatkan pula bahwa adanya “sistem hukuman kolektif” seperti terhadap mantan tapol/napol kasus G30S l965 dan keluarganya, secara tak langsung juga warisan jaman pendudukan fasisme Jepang. Jaman itu apabila satu orang dari pasukan membuat kesalahan, maka seluruh anggota pasukan kena “sa seng” atau hukuman. Satu keluarga dalam desa gagal mengumpulkan “iles-iles” atau semacam ubi yang konon diperuntukkan industri perang Jepang, maka semua keluarga penduduk satu desa kena hukuman dalam bentuk semacam kerja bakti atau sebenarnya kerja paksa untuk kepentingan tentara Jepang.
      Sementara itu, barangkali menarik untuk dikaji buku “PERALIHAN KE KAPITALISME DI DUNIA KETIGA” ditulis oleh Bonnie Setiawan (penerbitan Insist Press, KPA dan Pustaka Fajar Nopember 1999). Siapa pun tak bisa menyangkal, bahwa dunia ketiga termasuk Indonesia sedang mengalami proses peralihan ke kapitalisme. Dalam pengantar buku itu diakui, justru peralihan ke kapitalisme itu RUANG GELAP bagi ilmuwan sosial Indonesia. Ini bukan resensi, tapi buku itu memang menjelaskan secara jelas peta perjalanan teori- teori peralihan ke kapitalisme yang diperlukan dalam diskusi diskusi generasi muda pemikir masa kini setelah menyaksikan bagaimana dalam sidang World Trade Orga­nization (WTO) di Seattles beberapa waktu yang lalu untuk pertama kali terjadi perlawanan luas dari negara-negara sedang berkembang bersama perutusan NGO-NGO.
     Kongkretnya, banyak organisasi massa dan LSM yang kini mulai menyoalkan bagaimana bangsa Indonesia menghadapi neo-liberalisme yang semakin berkuasa, dengan tetap memperjoangkan kepentingan dasar rakyat Indonesia agar tidak menjadi korban atau tumbal proses perubahan tersebut. Orang bahkan ada yang mulai menunjuk pada pengalaman Malaysia atau bahkan Kuba.
     Mau tak mau semua parpol yang masih ingin memperoleh suara rakyat di pemilu mendatang harus menjadikan masalah neo-liberalisme itu sebagai agenda penting yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Mengingat penampilan dan kinerja partai-partai peraih suara dalam pemilu Juni 1999 lebih terkesan cenderung berebut posisi di birokrasi dan posisi kepala-daerah serta pimpinan badan legislatif daerah, ketimbang aktif memperjuangkan kepentingan massa pemilih seperti yang dijanjikannya semasa pemilu, maka peta politik 2004 nanti mungkin akan mengalami perubahan besar. Program partai yang lebih serius memperjuangkan pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan perimbangan keuangan pusat–daerah yang adil, serta yang berhasil mendekati dan merangkul gerakan mahasiswa, buruh dan tani serta gerakan perempuan, mungkin akan menjadi kunci perolehan suara mereka nanti. Tentu saja, tak kurang pentingnya ketegasannya dalam membantu militer mereformasi diri – atau mereposisi – hingga proses penghapusan dwifungsi akan benar-benar berakhir pada 2004.

Penutup
Demikianlah, pandangan saya yang dapat saya sampaikan dalam forum ini. Saya percaya pasti banyak yang kecewa atas ketidak-sanggupan dan ketidak-mampuan saya untuk “meramal” bagaimana kira kira peranan golongan kiri di masa depan.
     Saya berpendapat, apabila nanti akan ada kelompok-kelompok yang menyebut atau disebut golongan kiri, atau bila secra sempit mungkin dapat disebut “golongan yang gigih memperjuangkan keadilan sosial”, maka mereka itu logisnya akan menempatkan dirinya ke dalam gerakan demokratisasi dan reformasi secara damai. Barangkali saja dalam waktu dekat ini, suatu jaringan kerja sama kelompok-kelompok sosial demokrasi yang akan mungkin mengisi kekosongan label golongan kiri tersebut.

   Jakarta 22 Pebruari 2000
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 11:19 AM