Otobiografi Letkol Heru Atmodjo "Aku Takkan Mati"

Otobiografi Letkol Heru Atmodjo, sambutan

Begitu jendral Bapak Pembangunan Orde Baru lengser, begitu rakyat bisa membuka mulutnya lagi, salah satu tuntutan pertama yang meledak-ledak sampai hari ini adalah: luruskan penulisan sejarah! Wajar-wajar saja tuntutan seperti itu karena intuisi rakyat yang tajam dan arif yakin betul bahwa penulisan sejarah telah dibengkokkan, dipluntir, diobok-obok selama tiga­puluh tahun lebih sesuai selera dan kepentingan founding father rejim Orde Baru jendral Suharto. Itu dilakukan bersama para pakar sejarahnya dengan dukungan segenap mesin mass-medianya.
      Kita persilakan saja para penuntut -– entah mampu, entah berhasil -– meluruskan sejarah yang dianggap bengkok itu. Tidak ada keberatan apa-apa untuk itu, akan tetapi saya merasa tidak perlu ikut menuntut seja­rah dilu­rus­­-luruskan karena sejarah bisa saja wajar berjalan zig-zag sesuai dialektika gerak masyarakat, sejarah tidak selalu berjalan linièr. Tetapi memang secara terencana sejarah bisa dimani­pulasi seperti yang dilakukan seluruh permesinan kekuasaan Orde Baru. Walaupun begitu, bila para pendu­kung rejim Orde Baru yang dalam era reformasi ini masih ikut aktif menga­tur negeri ini mau terus memanipulasi sejarah, biarlah kita persi­lakan saja melakukannya -– kecurang­an seperti itu memang sudah lekat pada watak Orde Baru Suharto.
      Era reformasi adalah era demokrasi -– begitulah yang ingin kita usahakan bersama, bukan? -–, oleh karenanya semua orang bebas punya pendapat dan boleh bebas bersuara, termasuk yang mau menjual nonsens. Tetapi demokrasi tidak berarti bahwa rejim Orde Baru dan para penggembiranya yang berwatak curang punya hak memonopoli kebohongan sebagai kebenaran, memaksa orang lain menerima versi rekayasa mereka sebagai satu-satunya versi yang benar. Pemaksa­an monopoli seperti itu harus kita tentang keras.
      Gejala memaksakan kebenaran versi sejarah Orde Baru, kini kentara jelas muncul kembali. Sempat terdesak beberapa waktu, akan tetapi sekarang versi rancu itu dipungut lagi, mau dihidup-hidupkan kembali. Agen-agen pewaris Orde Baru dalam lembaga eksekutif dan legislatif ternyata mau ikut menulis buku pela­jaran sejarah untuk sekolah-sekolah. Suatu hal yang positif adalah bahwa gejala baru itu membikin orang sadar bahwa kekuasaan rejim Orde Baru belum punah. Malah sebaliknya -– roh Orde Baru masih hidup segar-bugar bergentayang­an di semua bidang dan wilayah! Dengan vitalitas cukup tinggi, kita saksikan para pewaris kekua­saan Orde Baru masih terus berkuasa di era reformasi -– mereka pun ikut mengusung panji-panji reformasi.
     Mereka ngotot tetap memberlakukan versi sejarah Orde Baru yang manipulatif itu. Kita bisa mudah menduga mengapa mereka begitu ngotot. Versi rancu itu mereka perlukan guna mendapatkan pembenaran dari seluruh bangsa Indonesia dan juga dari seluruh dunia beradab. Pembenaran telah meng­­gu­lingkan Presiden Sukarno, telah membantai kaum nasionalis revolusioner dan orang-orang komunis berikut partai PKI sampai ke akar-akarnya, sebab menurut mereka itu adalah tugas suci Pancasila yang benar. Padahal apa yang dilakukan Suharto di tahun 1965 dan menyusul selanjutnya selama tigapuluh tahun, tidak lain adalah suatu kekejaman politik dan kemanusiaan untuk menegakkan rejim militer berkuasa mutlak. Para jendral pahlawan revolusi cuma dijadikan tempat pijak untuk naik ke puncak kekuasaan. Ajaran Bung Karno dan komunisme PKI adalah positif biang-keladi  tahun 1965, versi seperti itu sekarang mereka perlu hidupkan lagi agar terhindar dari tuntutan rakyat, tuntutan keadilan sejarah, dan tuntutan keadilan tribunal internasional.

Baris-baris di atas perlu kita jabarkan lebih dulu dalam menyambut terbitan baru OMBAK, otobio­grafi Heru Atmodjo berjudul “AKU TAKKAN MATI”.
      Bagi para awam politik, nama Heru Atmodjo boleh jadi akan terlewat begitu saja, sebaliknya para peminat politik akan terbangun mendengar nama Heru Atmodjo. Tersengat rasa ingin tahu apa yang ditulis Heru Atmodjo, seorang yang menyandang pangkat wakil-ketua Dewan Revolusi “G30S-PKI”. Penyandang label pelaku aktif G30S-PKI, malah berkem­bang sampai tuduhan menjadi peren­cana, aktor-intelek­tualis penggerak peristiwa berdarah pada 30 September 1965 malam.
      Sebelumnya selalu dibungkam, tetapi sekarang orangnya sendiri mendapat kesempatan bercerita. Otobiografi Heru Atmadjo tentulah luas cakupannya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, belajar ke Amerika menjadi penerbang, lantas pegang fungsi intelijen AURI, sampai pada masa-penjara dan pasca-tahanan sebagai tahanan-politik, tapol. Namun wajar saja bila fokus utama yang dicari pembaca pastilah terletak pada peran­annya di sekitar apa yang dikatakan Peristiwa 30 Sepem­ber 1965. Sebuah peristiwa besar yang telah mengubah peta politik Indonesia, bahkan peta politik dunia.
      Di sini kita tidak akan memasuki materi otobiografi Heru Atmadjo, itu hak sepenuhnya penulis. Bung Heru bebas menulis apa saja, terpulang kepada pembaca untuk menilainya -– begitu pun kita perlakukan sama versi-versi rekayasa Orde Baru, biarlah rakyat yang menjatuhkan penilaian.
      Masyarakat Indonesia, para politi­kusnya, komunitas pers, para guru di sekolah, aktivis mahasiswa dan pemuda, sampai hari ini masih tetap berusaha mendapatkan jawaban tentang duduk soal peristiwa G30S dan siapa perencana sesungguhnya di belakang peristiwa berdarah itu. Berbagai versi baru muncul, akan tetapi belum ada yang tampil meyakinkan, pa­ling-paling yang mengedepan hanya sebagian kebenaran atau mendekati kebenaran. Satu-satunya yang merasa pasti benar, hanyalah para pendukung Orde Baru yang sudah tidak ketolongan sikap anti-komunisnya -– bagi mereka, langsung-tidak-langsung, tidak-bisa-tidak: G30S pasti PKI yang punya gawe!
      Bagaimana Orde Baru membenarkan tuduhannya ke alamat PKI? Sangat sederhana : PKI kerjanya sudah biasa berontak, di tahun 1926 berontak, di tahun 1948 berontak, jadi tidak-bisa-tidak di tahun 1965 pasti  PKI lagi yang berontak. Suatu preseden murahan yang dangkal dengan cara menganalogikan yurisprudensi yang memang bisa dijadikan pembuktian sah dalam pranata hukum. Cuma mereka sengaja  melupakan bahwa jurisprudensi sah dalam hukum hanya setelah ada keputusan pengadilan. Tetapi biarkanlah orang-orang Orde Baru membikin kebodohan itu, konsensus masyarakat yang timbul spontan di era reformasi sudah sepakat melempar versi rekayasa itu ke keranjang kotoran.

Lantas apa dan mana yang benar? Selama tigapuluh tahun versi Suharto-Nugroho Notosusanto merusak otak berpikir bangsa Indonesia, di samping itu cukup banyak versi beredar yang besar sumbangannya dalam ikut mengisruhkan penulisan peristiwa September 1965 tersebut. Hal ini terutama dilakukan oleh para ilmuwan, para pakar sejarah yang dengan kemutlakan menyodorkan versi masing-masing sebagai yang paling benar. Itu dilakukan atas nama ilmu, atas nama metode penelitian sejarah yang sah, atas nama wibawa gelar PhD yang melekat pada nama masing-masing. Harus diakui bahwa apa yang dikemukakan oleh para pakar sejarah itu tidak seluruhnya nonsens, akan tetapi kerancuan mulai terjadi pada saat mereka meng-klaim bahwa apa yang ditulis sudah itulah yang benar. Padahal apa yang di-klaim sebagai kebenaran, kebanyakan hanyalah kesimpulan dari kepingan-kepingan fakta berserakan, bukan keutuhan yang saling-hubungannya klop isi-mengisi, compatible. Kerancuan menjadi sempurna pada saat para quasi pakar sejarah dan politikus dadakan, mengutip kepingan-kepingan itu sebagai referensi ilmiah dan mengobralnya lewat media suratkabar dan macam-macam buku kepada masyarakat. Contoh gamblang rantai panjang kutip-mengutip “referensi ilmiah” bisa kita ceritakan di sini.

Seorang wartawan Belanda -– yang pernah berkenalan dengan saya –- mendapatkan gelar PhD dengan disertasinya tentang Peristiwa G30S. Thesis yang dikemukakan sungguhlah orijinal. Dia tahu siapa biang-keladi di balik gerakan 30 September 1965. Ternyata bukanlah PKI, bukan CIA, bukan Angkatan Darat, bukan KGB, tetapi Presiden Sukarno. Opo ora hebat!?
      Kita tidak akan berpanjang-panjang tentang thesis tersebut, tetapi dalam bahasa sang wartawan itu tepatlah bila kita kutip pepatah : “Hij heeft de klok horen luiden, maar weet niet waar de klepel hangt!” Diterjemahkan bebas: dia dengar loncengnya berbunyi, tetapi enggak tahu letak kentung yang membikin lonceng itu berbunyi. Klinkklare onzin, jelas seratus prosen omong kosong! Tetapi para quasi intelektual dan para politikus dadakan lahap mengutip thesis itu dan banyak lagi thesis lain yang kadar omong-kosongnya setara dan sejenis -– dan itu lantas dihidangkan kepada publik sebagai kebenaran berdasar “referensi ilmiah”.
     Mengenai kepingan-kepingan yang dikoleksi para ilmuwan -– artinya kumpulan kebenaran yang sepotong-sepotong -– masih banyak beredar yang cukup menarik untuk diikuti. Seorang dutabesar asing di Jakarta misalnya pernah lapor pada atasannya, bahwa Sukarno tidak bisa disingkirkan dengan cara-cara yang sudah dikerjakan selama ini -– sudah tujuh kali dicoba untuk dibunuh akan tetapi selalu gagal. Sukarno akan lumpuh kalau PKI hancur, akan tetapi PKI yang kuat dan rapi organisasinya, hanya bisa dihancurkan bila PKI membuat kesalahan fatal. Karena itu penting sekali memancing PKI membikin kesalahan fatal.
      Kepingan lain saya dengar dari seorang penulis Amerika spesialis di bidang sekuriti. Dia bercerita bahwa “dokumen Gilchrist” dibikin di Praha oleh seorang intel Chekoslowakia. Sebagaimana sudah menjadi terkenal, isi dokumen bercerita tentang “our local army friends”. Penulis itu mengaku membaca dokumen itu (pastilah fotokopinya –ed.), dan intel Cheko yang membikin dokumen itu sekarang sudah membelot, kini dia hidup di Amerika. Penulis Amerika itu mengatakan, Subandrio dan PKI termakan oleh kelihaian rekayasa intel yang kreatif itu. Kita lantas bertanya-tanya, bukankah itu jalannya untuk memancing PKI membikin kesalahan fatal? Entahlah.
      Suatu info sepotong lagi saya dengar dari seorang ex-tapol. Nama penulis Amerika di atas dan nama ex-tapol yang menceritakan apa yang dia dengar kepada saya, tidak saya ungkap di sini karena izin untuk itu belum saya minta dari mereka. Ex-tapol itu bercerita tentang almarhum kolonel Latief, ceritanya muncul pada saat tersiar berita kolonel Latief meninggal dunia, maka dia teringat kembali pada percakapannya dengan kol. Latief hampir empat-puluh tahun yang silam. Inilah kata-kata kol. Latief: “Saya tahu betul siapa Harto. Saya, letkol Untung, dan Harto sama-sama anggota B.C.!” (Yang di­maksud “Harto” adalah jendral Suharto, dan B.C. adalah sing­katan Biro Chusus, bagian dari organisasi PKI –ed). Ex-tapol itu menjelaskan kepada saya, bahwa ucapan kol. Latief itu terjadi di dalam penjara Salemba pada tahun-tahun antara 1966-1970. Saya di sini sedetik pun tidak berniat mendiskreditkan nama almar­hum kol. Latief. Beliau adalah seorang yang saya hormati dan sangat kagumi. Tengoklah pengabdiannya kepada negeri dan bangsa sebagai Saptamargais sepanjang hidupnya! Dialah pahlawan sejati yang belum terungkap berada di belakang Serangan 1 Maret 1949 yang heroik di Yogya. Selama ini kita tahu bahwa cuma ada satu “versi resmi” dan satu pahlawan besar dalam kisah penyerangan Yogya pada 1 Maret 1949 itu, bukan? Sang pahlawan kesaktian Pancasila yang menjadi Presiden setelah menggulingkan Bung Karno.
      Kembali pada info kol. Latief, saya teringat pada ulasan Prof. Wertheim di Belanda yang mengulas peristiwa 30 September 1965. Sudah pada tahun-tahun awal setelah 1965 dia sudah curigai peranan Suharto, akan tetapi dia tidak cukup data dan fakta untuk mengambil suatu kesimpulan final. Dia hanya berbicara tentang “missing link” yang masih harus dilacak lebih lanjut. Boleh jadi ada orang yang menyimpulkan, bukankah missing link itu sekarang sudah terungkap oleh kesaksian kol. Latief? Entahlah.

Saya mengajak semua pihak yang berkepentingan mengungkap Peristiwa 30 September 1965 untuk tidak ceroboh, janganlah gampangan dan sederhana menarik kesimpulan. Jangan kita kerjakan apa yang dilakukan para penulis sejarah Orde Baru, oleh orang-orang kesurupan anti-komunis yang tidak tersembuhkan, atau pakar-pakar sejarah yang ingin namanya tampil ke depan dengan primeur thesis-thesis orijinal.
      Peristiwa September 1965 dengan segala akibatnya mutlak harus diungkap, akan tetapi hal ini mungkin memakan waktu sangat lama, atau boleh jadi tidak terungkap tuntas untuk selama-lamanya. Soal waktu tidak menjadi masalah karena pembunuhan massal tidak pernah daluwarsa di hadapan hukum di mana pun di dunia. Kita kejar kebenaran yang benar, bukan semata-mata demi menegakkan hukum apalagi balas-dendam, akan tetapi di atas segalanya demi martabat manusia, demi Indonesia luhur dan jaya yang pantang mengalami kejahatan politik dan kejahatan kemanusiaan seperti apa yang dilakukan oleh mereka yang bangga menamakan diri Orde Baru. Sebaiknya kita selalu bersikap rendah-hati dalam ikut meneliti, menulis dan berusaha mengungkap Peristiwa G30S itu. Jangan sekali-kali terburu-buru, apalagi menyederhanakan persoalan. Berhati-hati meng-klaim kebenaran walaupun informasi yang didapat terpercaya dan masuk-akal. Diperlukan pengendapan dan penelitian silang berulang kali sebelum mengambil kesimpulan final.

Kita sambut buku Heru Atmodjo dan juga buku-buku sejenis yang mungkin sekali bakal menyusul dalam semangat kemanusiaan Indonesia seperti itu. Kita tampung kebenaran yang luhur walaupun kebenaran itu mengucur tetes demi tetes. Semua ilmuwan dan pakar sejarah, baik yang kental atau pun yang semu warna politiknya -– ini adalah suatu kenyataan -– tidak ada yang menjadi pelaku sejarah langsung dalam peristiwa G30S yang mereka bahas. Kesimpulan dalam thesis mereka sangat tergantung dari supply fakta dan data yang kemudian dikelolanya sesuai syarat-syarat metode ilmiah penulisan sejarah. Oto Biografi ini dan buku sebelumnya “Kesaksian Heru Atmadjo” dengan sendirinya mempunyai bobot tersendiri. Banyak hal yang dia ungkapkan bukanlah hasil kutip-mengutip referensi, melainkan hasil pengamatan dan pengalaman langsung di tempat kejadian dalam peristiwa sejarah itu sendiri.
      Kita gembira OMBAK menerbitkan buku Heru Atmodjo ini yang merupakan sumbangan berharga untuk mengetahui lebih baik duduk-soal Peristiwa G30S sebenarnya.  Dan saya terutama menghargai bung J.J.Kusni, putera Dayak yang sama sekali tidak terlibat dan tidak tahu apa-apa tentang kejadian berdarah di Indonesia pada tahun 1965 itu, tetapi terimbas menjadi refugee politik di Paris selama empat-puluh tahun sampai sekarang. Dia bekerja keras untuk survive dan dia gunakan waktunya untuk juga menimba ilmu sampai meraih gelar PhD di Universitas Paris. Dorongan untuk membantu Heru Atmodjo menuliskan biografi ini, saya yakin karena dia -– walaupun dari kejauhan – ingin ikut menegakkan kebenaran, membangun martabat manusia Indonesia yang beradab dan berkeadilan.
Joesoef Isak
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 3:38 PM