G30S Soeharto


Kolonel Abdul Latief

Pledooi : Soeharto Terlibat G30S

mbah subowo bin sukaris

Malam 30 September sekitar pukul 21.00 Kepala Komando Brigade Infanteri Kodam V Jaya Kolonel Abdul Latief melaporkan diri ke Rumah Sakit AD Gatot Subroto untuk menemui Mayor Jendral Soeharto selaku kepala Kostrad.

    "Selamat malam, pak," ucap Abdul Latief tatkala menemui Soeharto ruang rawat inap. Kemudian mereka berpindah ke tempat aman berdua saja di suatu sudut rumah sakit.
Colonel Abdul Latief
    "Malam, ada sesuatu yang ingin dilaporkan, Kolonel?" sambut Soeharto ramah seperti biasanya. Tatkala itu ia terpaksa berada di tempat tersebut untuk menunggui salah seorang anaknya yang terkena kuah sop.
    "Pak, malam ini kami beberapa kompi pasukan akan bergerak untuk membawa para Jendral anggota Dewan ke hadapan Yang Mulia Presiden!" ujar Latief agak pelahan. Soeharto terkejut sejenak, akan tetapi tetap tenang dan berusaha tersenyum menyembunyikan rasa kagetnya.
    "Terimakasih laporanmu, Kolonel. Moga-moga berhasil dan sukses nanti malam. Saya akan membantu dengan dukungan kalau ada apa-apa." Soeharto sebenarnya ingin tahu lebih banyak mengenai rincian gerakan, siapa-siapa yang memimpin dan ke rumah jendral yang mana masing-masing pasukan, dan bagaimana kedudukan mereka sebelum dan sesudah menjalankan misinya. Soeharto tidak bertanya apapun karena bisa menimbulkan kecurigaan Kolonel Latief, oleh karena itu Soeharto menjanjikan sesuatu yang mungkin ia berikan dan tentu saja diminta oleh gerakan daripadanya. Mereka menganggap Soeharto "orang baik". Dengan demikian mereka tidak menyembunyikan segala sesuatunya dari petinggi AD itu.

    Gerakan malam itu seperti yang semua orang ketahui menghasilkan kegagalan karena beberapa jendral yang menjadi sasaran telah gugur. Hal demikian berada di luar skenario gerakan. Kesalahan memang telah dilakukan oleh berbagai pihak. Komandan gerakan memang Letnan Kolonel Untung Syamsuri akan tetapi ia bukan otak yang sesungguhnya berada di balik gerakan. Dengan terjadinya kesalahan tersebut maka para pemimpin gerakan pada akhirnya ditahan dan dihukum oleh kelompok "orang baik" Mayor Jendral Soeharto yang berbalik untuk menggempur gerakan.
    Soeharto mengerahkan segala potensi dan daya yang dimilikinya untuk memukul balik gerakan sekaligus menyabot pemerintah Soekarno dengan menahan semua orang yang tidak mendukung dirinya atau tidak dapat dipastikan sikapnya dalam situasi yang berkembang ke arah chaos atau kekacauan.
    Kolonel Abdul Latief tiba-tiba mendapati dirinya sudah meringkuk dalam penjara ditambahi beberapa butir peluru yang bersarang dari dalam tubuhnya. Dokter belum merawatnya dan mengambil peluru yang membikin sebagian anggota badannya di sekitar tertanamnya peluru agak membusuk sampai keluar belatung.
    Sementara itu di seberang sana Jendral Besar Haji Mohammad Soeharto bernasib terbalik dengan keadaan Kolonel Latief, ia menjadi orang nomor satu paling berkuasa di negeri ini.
   Pledooi ini dibacakan di sidang pengadilan hampir sepuluh tahun kemudian sejak Latief masuk penjara. Masa tahanan itu pun masih terus berlangsung sampai hampir menjadi total 30 tahun. Latief yang menghirup udara bebas hanya sekitar lima tahun itu pun akhirnya wafat meninggalkan catatan sejarah untuk dipersembahkan kepada para pembaca generasi muda di masa depan yang tertarik pada sejarah negerinya sendiri. 

********

Epilog pleidooi Kolonel Abdul Latief 

Sebagai dokumen sejarah, pleidooi (pidato pembelaan) Kol. Latief ­segera menggambarkan kehidupan politik semasa kesewenangan kekuasaan represif sedang bebas merajalela di Indonesia. Pidato pembelaan itu kita muat utuh – sepenuh­nya otentik tanpa perubahan atau tambahan. Demikian pun judul dan peng­antar terbitan ini ditulis oleh yang bersangkutan sendiri. Catat­an penutup atau epilog ini tidak mencampuri sama sekali substansi isi pembelaan – kita ingin serahkan isi pembelaan Latief bulat-bulat kepada pembaca untuk membahas dan menilainya sendiri.
    Titik fokus yang ingin kita ajak pembaca perhatikan adalah justru ke wilayah lingkungan di luar dan di sekitar pleidooi itu.
    Satu fakta yang kita sebut di sini sangat mengusik:  Latief termasuk cepat sekali ditahan di antara ratusan ribu tahanan yang kemudian belakangan dikenal dengan singkatan “tapol”. Pada 11 Oktober –  sebelas hari sete­lah kejadian pada 30 September 1965 – dia sudah ditangkap aparat militer, tetapi baru 13 tahun kemudian (sic!) – di tahun 1978 – dia diha­dap­kan ke pengadilan, sesudah itu masih makan beberapa tahun lagi (1982) sebelum dia mendapatkan vonnis kepastian hukum. Me­ngapa?!
    Orang-orang militer yang dianggap terlibat “G30S/PKI” seper­ti letkol Untung dan brigjen Pardjo jauh-jauh hari sudah “diselesaikan” kasusnya, artinya: masing-masing sudah diadili dan sudah dieksekusi alias ditembak mati. Tetapi terhadap Latief terlalu kentara penguasa mengambil sikap dan tindakan lain.
    Dalam penjara dia diisolasi ketat dalam sel yang terus-menerus terkunci, dilarang berhubungan de­ngan orang lain selama lebih dari sepuluh tahun dengan luka tusukan bayonet di lutut yang menjadi borok busuk bernanah, ada belatung, tanpa obat dan tanpa perawatan. Latief terlalu kentara sengaja “di­biarkan”, diantapi. Pe­nguasa rupanya berharap Latief akan patah tak tahan oleh nye­ri pe­nya­kit dan derita batin berkepanjangan, dengan begitu diharapkan dia punah tanpa harus diadakan peng­­adilan untuknya.
    Mengapa Latief harus punah tanpa pengadilan? Mengapa dengan segala upaya diusahakan agar dia jangan sampai perlu dibawa ke pengadilan? Mengapa kepada Latief tidak mau dikasih ke­sem­patan agar dia memberikan kesaksiannya?
Tidak ada  jawaban lain: Latief adalah saksi kunci!
    Untung, Pardjo, Suban­drio, Omar Dhani, dan lain-lain tokoh yang diseret ke pengadilan dalam perkara G30S kesemuanya dianggap bukanlah saksi kunci! Tidak terlalu gawat dampaknya menyeret mereka ke pengadilan ketimbang apabila Latief buka mulut dan bersaksi.
    Akan tetapi apa mau dikata? Meski derita batin dan rasa nye­ri tiada tara menggerogoti kesehatannya, rupanya Latief tidak punah – dia bertahan hidup, dia survive! Orang-orang  satu nasib di penjara Salemba bisa bercerita betapa semangat baja Kol. Latief telah berhasil melawan segala bentuk derita, siksa dan kelemahan. Sema­ngat tak kunjung padam untuk bertahan hidup, untuk mendapat kesempatan bersaksi demi kebenaran dan keadilan, membuat dia tetap tegar mengatasi segala cobaan yang pa­ling berat sekalipun!
    Dia memang berhasil bertahan, dia juga berhasil berdiri di forum penga­dil­­an di hadapan para jaksa dan hakim untuk bersaksi. Tetapi – rupanya memang begitulah rekayasa­nya – kesaksian Latief tidak terjadi pada tahun-tahun ‘65, ‘66 atau ‘67 – satu-dua tahun sesudah kejadian – melainkan baru diadakan tiga­belas tahun kemudian, di tahun 1978.
    “Faktor waktu” ini penting dan menentukan, sebab ia meng­ungkap dan bercerita segala-galanya; dia bahkan langsung menggambarkan secara gamblang tentang watak ke­ku­asaan rejim militer jendral-jendral Orde Baru di ba­wah pimpinan jendral Suharto.
    Terutama di bulan-bulan dan tahun-tahun awal setelah peristiwa September 1965 meletus, ratusan ribu orang yang dikejar-kejar dengan tudingan “komunis” tidak akan lupa manuver para interogator yang selalu berusaha me­ng­o­rek informasi dari orang yang diinterogasi apakah mereka sudah tahu sebelumnya bakal terjadi gerakan 30 September?
    Orang-orang yang dianggap sudah tahu tentang adanya gerak­­an 30 September sebelum komplotan itu bergerak, tidak bisa tidak, patut diduga, langsung atau tidak langsung, pasti terlibat dalam pengkhianatan kudeta G30S/PKI – demikianlah jargon dalam kamus para interogator masa itu. Kalau begitu bagaimana dengan Suharto?
    Orang paling awam dalam politik pun akan dapat memperkirakan apa yang terjadi dengan jendral Suharto apabila Kol. Latief sempat bersaksi di hadapan publik, bahwa justru jendral Suharto yang paling tahu bakal meletusnya suatu gerakan yang belakangan dikenal dengan predikat “peristiwa G30S/PKI”.
    Kol. Latief disebut sebagai saksi kunci, karena dialah sebagai bawahan pada 28 September 1965 telah memberitahukan jendral Suharto tentang bakal ada­nya suatu gerakan kup yang bakal dilawan oleh gerakan lain yang menentang kup tersebut. Bila Latief yang sudah ditangkap pada pertengahan Oktober 1965 diseret ke pengadilan pada tahun itu juga atau selambatnya satu-dua tahun setelah pecahnya tragedi September itu, tentulah hal itu akan merepotkan Suharto yang sebagai jendral senior sudah tahu lebih dulu tentang bakal terjadinya konflik serius me­nyangkut kekuasaan negara. Kita katakan “merepotkan”, karena Suharto pada tahun-tahun awal sesudah 1965 tentulah belum sempat meng­konsolidasi kekuasaannya secara efektif walaupun “super semar” menjadi kendaraan bagi­nya untuk menyingkirkan Sukarno. Di tahun-tahun awal itu masih cukup banyak perwira tinggi dan menengah dari semua angkat­an, terutama KKO, yang loyal pada Presiden Sukarno dan siap menjalankan segala perintahnya. Apa jadinya bila para perwira rekan-rekan jendral Achmad Yani, di tahun-tahun awal sesudah 1965 mengetahui bahwa Suharto sebenarnya sudah diinformasikan tentang ke­mung­kinan apa yang bakal dihadapi oleh jendral Yani dan kawan-kawan, sedang­kan sebagai jendral senior yang memimpin Kostrad, Suharto tidak mengantisipasi apa-apa terhadap informasi yang masuk langsung kepadanya, malah membiarkan gerakan itu berlangsung sehingga memakan korban enam nyawa jendral.
      Itu sebabnya Kol. Latief harus dibungkam, dipendam. Di penjara pun dia masih dipenjarakan! Dia dijebloskan dalam blok isolasi total, dan dalam blok isolasi itu pun dia di-sèl terus-menerus selama sepuluh tahun lebih – tidak dibolehkan keluar sèl kecuali sekejap saja sekitar subuh untuk menerima air minum.
    Tetapi apa boleh buat! Latief rupanya tidak punah – pengadilan terpaksa diadakan. Tetapi ketika pengadilan diadakan, kita sudah berada di tahun 1978, suatu situasi yang politis jelas berbeda kualitatif dengan tahun-tahun awal pecahnya peristiwa September 1965. Suharto sudah di puncak kekuasaannya!
    Seluruh pranata dan perangkat mesin kekuasaannya sudah bekerja efektif tinggal tekan tombol. Kekuasaan yudikatif dan legislatif sudah dalam saku, bisa dia dikté apa saja sesuai kemauannya. Latief mau cari keadilan ke pengadilan? Dia mendapatkan keadilan itu – keadilan à la Suharto.              
    Palu hakim ketua berkali-kali memukul meja sambil terdengar suara hakim: “Tidak relevan! Tidak rele­van!” – bahkan sebagian dari pleidooinya pun dilarang untuk dibaca. Kesaksian Latief sudah tidak relevan! Sudah tidak penting lagi ­– walaupun positif diketa­hui – bahwa Suharto sudah tahu sebelumnya bahwa tragedi September 1965 akan terjadi.
    Bila pada awal catatan penutup ini kita mengajak pembaca untuk memperhatikan faktor waktu dan terutama juga memfokus ke wilayah lingkung­an di luar dan di sekitar pengadilan Latief tahun 1978 itu, maka pesan yang terkandung di dalamnya sebenarnya tidak lain adalah bahwa Latief dengan pembelaan yang bagaimana pun tidak akan mendapatkan keadilan yang dia cari dan coba tegakkan.
    Pada saat Latief sedang mencari keadilan, perangkat pengadilan dan peradilan kita justru sedang sangat rusak. Walau pun tentu ada saja kekecualian, secara umum tegas bisa dikatakan bahwa para hakim dan jaksa kita sudah tak punya martabat dan kemandirian. ‘Bos’ yang didengar dan ditaati hanyalah pucuk pimpinan Orde Baru dengan perangkat wahananya Golkar dan Abri Suharto. Dalam sejarah politik Republik kita, maka periode kekuasaan Golkar-ABRI-Suharto harus dicatat sebagai periode di mana ketidak-adilan dan pelanggaran hak azasi manusia ada­lah sah-sah saja. Pelanggaran hak azasi bisa terjadi aman dan berkelanjutan, karena – entah namanya TAP, undang-undang, keppres, dan sebagai­nya – akan disediakan untuk memungkinkan pelanggaran hak azasi itu berlangsung sesuai menurut peraturan yang ada. Akibatnya ratusan-ribu orang dijebloskan bertahun-tahun dalam penjara tanpa lewat proses pengadilan bahkan dibunuh, tanpa ada konsekuensi hukum bagi para pelaku­nya. Semua itu sah dan wajar-wajar saja terjadi selama dilakukan demi me­num­pas komunisme dan menegakkan Pancasila Orde Baru yang murni semurni-murninya.
    Titik awal tragedi terbesar yang dialami bangsa dan seluruh rakyat Indonesia adalah ketika penumpasan, pemenjaraan dan pembunuhan massal orang-orang yang dianggap komunis itu, disambut baik malah diterima dengan sorak-sorai kegembiraan oleh cukup banyak tokoh-tokoh masyarakat kita, tokoh-tokoh parpol, kaum intelektual maupun para pemuka agama kita. Ada semacam “leedvermaak”, senang atas penderitaan orang lain, padahal tak disadari bahwa azas paling hakiki martabat manusia yang dianut oleh peradaban dan agama – Islam maupun Kristen – sedang diperkosa sekasar-kasarnya oleh rejim militerisme Suharto. Yang merasakan sakit memang yang terkena langsung, yaitu orang-orang yang di-cap komunis itu, tetapi yang paling di-obrak-abrik sebenarnya adalah azas kebenaran hakiki yang dianut Islam, Kristen, para cendekia dan masyarakat beradab umum­nya.
    Bukti kebenaran dari apa yang kita kemukakan di atas muncul dengan segera ke permukaan: sesudah pembantaian massal tahun 1965 dengan tuduhan “komunis”, menyusul giliran tu­duh­an “Islam fundamentalis”, maka terjadilah pembunuhan massal Tanjung Priuk, Lampung, Aceh, Irian, TimTim. Ideologi Orde Baru dengan Golkar dan ABRI-nya Suharto tidak berhenti di situ. Belakangan mereka sudah tidak peduli ideologi, apa komunis, apa Islam, apa GPK – siapa saja yang berpikir lain (“de andersdenkenden”) daripada selera Orde Baru Suharto dibabat, semua dengan pembe­naran membasmi komunis dan menegakkan Pancasila yang mur­ni dan konsekuen. Wabah bahaya ini masih terus meminta korbannya sampai sekarang di masa biang keladinya sudah lengser turun panggung, di masa orang lantang berteriak-teriak reformasi.
    Presiden Clinton ketika menyambut kunjungan Presiden Abdurahman Wahid di negerinya berkata tentang Indonesia sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tidak tepat ucapan itu, karena Indonesia masih jauh daripada masyarakat demokrasi yang sama-sama kita dambakan. Yang benar adalah bahwa di Indonesia sudah ada satu orang demokrat sejati, kebe­tul­­an Presidennya yang satu orang itu saja. Kalau ada sepuluh saja orang Indonesia demokrat sejati, gerakan reform sosial akan berjalan lebih lancar tidak tersendat-sendat seperti sekarang. Apalagi kalau kita mempunyai ratusan demokrat sejati!
    Tragis sekali kita mengikuti ucapan elit politik kita di MPR/DPR menentang Presiden Gus Dur yang ingin mengubah radikal politik penanganan terhadap komunis dan komunisme yang dilakukan pancasila militeris Suharto selama 30 tahun lebih. Orang yang masih bisa menggunakan isi kepalanya de­ngan normal, mengetahui bahwa Gus Dur sebagai pemuka Islam jelas bukan mau membela komunis atau komunisme. Sebaliknya yang mau dibela Gus Dur adalah azas demokrasi paling hakiki yang ada pada agama Islam, Kristen dan masyarakat beradab.
    Gus Dur tidak waspada terhadap “bahaya latent PKI/komunis”? Sungguh suatu tuduhan ngawur tak berdasar.
     Bukankah kita punya negara lengkap dengan perangkat hukumnya. Negara punya hak paling sah untuk menindak siapa saja yang berbuat onar, yang merusak kehidupan masyarakat apalagi membunuh orang, dilakukan sendiri maupun bersama. Tetapi semua tentu harus dilakukan menurut rambu-rambu hukum yang ada, hukuman seberat-beratnya dapat saja dijatuhkan pada orang komunis atau PKI, dan semua itu segala­nya sah sekali bila proses Pengadilan jujur dan adil sudah ditempuh sesuai hukum yang berlaku.
    Apakah masih mau diteruskan gaya Suharto? Awalnya dimulai dengan bahaya latent komunis, kemudian bahaya Islam fundamentalis mendapat giliran, lalu menyusul bahaya subversif GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), akhirnya siapa saja yang berpikiran lain dianggap bahaya yang harus ditumpas?
    Epilog ini sengaja mengajak pembaca ke lingkungan di luar dan di sekitar substansi Pengadilan Kol. Latief, karena kita ingin pleidooi Latief ini – atau masalah keadilan yang sama-sama kita dambakan – dilihat realistis kontekstual dalam situasi warisan politik di mana kita hidup sejak tahun 1965 sampai di tahun 2000 sekarang ini. Kita mengharapkan timbulnya pengertian lebih realistis terhadap berbagai tantangan yang ada, seperti misal­nya agenda reformasi yang berjalan serba seret karena kekerdilan pandangan yang masih saja menjangkiti alam pikir­an elit politik kita sendiri.
    Kami melihat kebijakan Presi­den Gus Dur untuk mengoreksi berbagai kebijaksa­na­an dan peraturan yang dilansir semasa Orde Baru terhadap komunis dan komunisme, sama sekali bukan untuk membela orang-orang PKI melainkan justru sebaliknya terutama untuk melindungi kepentingan masya­rakat sendiri, ya Islam, ya Kristen, maupun masyarakat awam umum­nya. Tetapi rupa­nya untuk memahami hal ini, kita masih perlu melahirkan lebih dulu lebih banyak lagi demokrat-demokrat.
Joesoef Isak, ed.


********

Kata pengantar

Mengapa buku Pledoi (Pembelaan) saya baru bisa di­terbitkan di masa sesudah presiden Soeharto leng­ser keprabon (jatuh tersungkur). Ini bukan karena takut resiko, tetapi ba­nyak faktor yang menyebabkannya, antara lain:
1.    Sesudah sidang pengadilan selesai mulai tanggal 1 Agustus 1978 Oditur Militer Tinggi naik banding ke Mahkamah Militer Agung dan baru mendapat putusan pada tanggal 31 Mei 1982 telah mempunyai kekuatan Hukum yang tetap yaitu menolak Banding Oditur Militer Tinggi yang diajukan pada tanggal 7 Agustus 1978 dengan mengukuhkan putusan Mahkamah Militer Tinggi II bg Barat tanggal 1 Agustus 1978 No. PTS - 12/K-AD/II BAR 76/VIII/1978 dengan hukuman “Seumur Hidup.” Putus­an Mahmilgung berdasarkan putusan nomor PTS 58/MMA/AP/1480VI/1982 tanggal 31 Mei 1982 telah mempunyai kekuatan Hukum tetap. Jadi menunggu selama 5 tahun dan saya masih sebagai tahanan belum menjadi Narapidana.
2.    Tidak mempunyai biaya atau sponsor bahkan saya masih berada di penjara sulit untuk mengadakan koneksi dengan teman-teman di luar.
3.    Bersamaan dengan putusan Mahmilgung, saya berusaha mencari upaya hukum untuk dapat bebas bersyarat sesuai ada­nya Keppres No. 156/tahun 1950 RIS yang menyatakan bahwa Narapidana setelah menjalani hukuman 5 tahun dan tidak cacat atau berkelakuan baik bisa mengajukan Pembebasan Bersyarat melalui Menteri Kehakiman. Dimulai pada tanggal 18 Januari 1982 dan selesai tanggal 18 Januari 1988 dapat dibebaskan bersamaan bahwa saya diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Ci­pinang oleh Oditur Militer Tinggi tanggal 18 Januari 1982.
4.    Sial bagi diri saya kurang 5 bulan dalam masa pembebasan pemerintah Orba membuat peraturan baru yaitu Keppres tersebut dicabut diganti Keppres No.5/tahun 1987 dan dikeluarkan te­pat pada tanggal 17 Agustus 1987 yang isinya: “pengajuan pembebasan bersyarat tidak lagi melalui Menteri Kehakiman melainkan harus melalui Presiden RI dengan disertai pengajuan Grasi”. Pendapat saya kemungkinan perubahan ini adalah rekayasa, se­bab mengetahui bahwa saya akan bebas tanggal 18 Januari 1988.
5.    Sebenarnya masih bisa menjalani bebas bersyarat, karena Keppres tersebut belum ada Petunjuk Pelaksananya dan baru dikeluar­kan pada bulan Maret 1988 sedangkan saya seharusnya be­bas pada tanggal 18 Januari 1988, jadi masih ada peluang waktu 1 bulan. Mengapa hal ini saya katakan direkayasa. Kronologis­nya sbb.:
a.    Dengan adanya peraturan itu segera saya ajukan protes dan saya ajukan permohonan bebas bersyarat sesuai dengan peraturan lama yang berlaku, tetapi tetap ditolak.
b.    Tiap tahun telah saya ajukan permohonan bebas bersyarat melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan Cipinang (Kalapas) sampai dengan tahun 1999 saat mau dibebaskan pemerintah. Tetapi semua pengajuan tersebut tidak ditanggapi, malahan pada pengajuan 17 Agustus 1999 sampai tiga kali diusahakan oleh Kalapas pun tidak ada jawaban sama sekali.
c.    Tanggal 16 April 1998 saya telah mengajukan surat tentang bebas bersyarat, baru mendapat tanggapan dari Menteri Kehakiman melalui Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Prof. Dr. Erman Rajaguguk SH. surat no. C-UM. 01.10-25 Tanggal 28 Mei 1998 yang isinya bahwa saya harus mengulangi mengajukan lagi permohonan bebas bersyarat. Pengajuan dilakukan oleh Kalapas pada tahun 1999 sampai tiga kali tapi juga tidak mendapat tanggapan sampai waktu bebas.
d.    Pada 17 Agustus 1995 Kalapas memanggil saya bertiga Dr. Soebandrio, Marsekal Oemar Dhani dan Brigjen. Soetarto untuk menandatangani surat permohonan “Grasi” yang telah diketik rapi. Akhirnya kami bertiga bersepakat. Setelah tiba waktunya tahun 1996 mereka bertiga (Dr. Soebandrio, Mantan Marsekal Oemar Dhani dan Mantan Brigjen Soetarto dipanggil untuk dibebaskan kecuali saya. Pada saat pembebasan surat kabar Berita Indonesia menanyakan kepada Men­teri Kehakiman Oetoyo Usman, mengapa Kolonel A. Latief tidak ikutsertakan bebas. Dijawab menteri: “bahwa beliau tidak melihat pengajuan Latief.” Atas dasar jawaban itu saya segera mengajukan protes kepada Menkeh lewat Kalapas padahal menurut para keluarga nama saya ada di Sekneg.
e.    Saya mengucap syukur Alhamdulillah atas kebebasan ketiga kawan tersebut, hanya saja Pemerintah sendiri menyalahi undang-undang atau peraturan sendiri yaitu : “bahwa Narapidana Hukuman Mati yang telah mendapat grasi pertama tidak boleh mengajukan grasi lagi, terkecuali harus menunggu mendapatkan Amnesti. Sedangkan ketiga kawan itu adalah hukuman pidana mati dan telah mendapat grasi menjadi seumur hidup jadi tidak boleh mengajukan grasi lagi. Ini bukan tanggung jawab ketiga teman itu sebab permohonan grasi yang meminta ada­lah Kalapas bukan atas kemauan sendiri. Apakah ini bukan rekayasa untuk tidak membebaskan saya, sebab pemerintah presiden Soeharto tetap prejudice (purba sangka) terhadap diri saya.
6.    Satu hal lagi yang perlu diketahui bahwa saya bersama teman kedua teman Napol yaitu Sdr. Rewang dan Sdr. Marto Soewandi yang satu dahulu jabatannya anggota Politbiro PKI dan yang satunya mantan anggota Biro Khusus. Kami bertiga bersama-sama mengajukan bebas bersyarat seperti biasanya. Pada akhir­nya mereka berdua dibebaskan sedangkan saya tidak, tindakan ini benar-benar diskriminatif dan sangat menyolok, yaitu dengan sengaja membuat saya tidak dibebaskan.
     Setelah dibebaskan oleh pemerintah dengan jalan Amnesti, maka banyak rekan wartawan luar dan dalam negeri menyerbu saya dan saya sangat menghargai para wartawan. Sebab mereka adalah penyambung lidah rakyat untuk mendapatkan informasi yang aktual. Tapi kadang-kadang ada teman wartawan yang nakal menulis atau menyebarluaskan wawancara kadang-kadang tidak sesuai dengan yang diucapkan, tapi juga ada yang secara jujur menulis apa adanya.
     Semua hal yang saya jelaskan seperti saya pernah kemukakan dengan tujuan untuk meluruskan sejarah. Itu semua tidak lain saya mengulangi komitmen saya seperti yang pernah saya ucapkan dalam pledoi (pembelaan) yang pernah saya ucapkan pada tanggal 1 Agustus 1978 dan tidak menyimpang dari itu. Itupun bukan rekayasa atau saya tambahi. Sebab selama 32 tahun Orde Baru berkuasa ba­nyak yang di­ubah sesuai dengan seleranya. Karena itulah saya berkewajiban untuk meluruskannya.
     Semua hal yang saya sebutkan banyak dibantah oleh Mantan Pre­siden Soeharto atau Jenderal Besar Soeharto dan membantah itu adalah haknya. Hanya saja sayang sekali bantahan itu baru diucapkan sekarang. Mengapa tidak dulu-dulu dan saya bisa balik di­gugat kalau tidak benar. Sebab terbuka kesempatan untuk itu pada waktu dalam keadaan si­dang Mahmilti. Mengapa pernya­taan saya tidak dibantah? Ja­wab­an-jawaban pada waktu sekarang banyak yang salah, mi­salnya:
–    Bahwa Letkol Soeharto kenal dengan saya karena saya bergabung dengan Brigadenya.
–    Saya dikatakan pelarian dari pemberontakan Madiun dan waktu itu sedang dikejar oleh pasukan Brawijaya. Ia lupa bahwa saya pernah mengatakan:
–    tahun 1947 sudah berada di Yogyakarta bertugas di Gubernur militer di bawah Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX bagian pertama membuat rintangan-rintangan jalan.
–    Bertugas sebagai Komando Operasi Brigade sebagai Komandan Medan Brigade IV di Wonosobo dan Temanggung menggantikan Letkol. Suharman di Wonosobo tahun 1948 s/d bulan Juli 1948 mendapat kunjungan dari Komisi Tiga Negara (KTN) di Hotel Wonosobo dan yang hadir waktu itu dari Amerika Serikat Dr. Frank Graham, dari Australia Mr. ­Richard Kirby, dari Belgia Mr. Paul Van Zeeland. Dari pihak kita Letkol. Moh. Bahrun Komandan sektor (MB) Medan Brigade II Banyumas, Letkol. Soeharman yang saya gantikan (Mayor A. Latief).
–    Adapun susunan sektor disebut Medan Brigade I Letkol. ­Sarbini daerah Pekalongan.
–    Medan Brigade II (MB II) Letkol. Moh Bahrun, Banyumas.
–    Medan Brigade III Letkol. Soeharto daerah Kebumen dan Purworejo.
–    Medan Brigade IV (MB IV) Mayor A. Latief, Wonosobo dan Temanggung, jadi pernyataan Jenderal Besar Soeharto jelas tidak benar dan bohong besar.
Adapun yang lain-lain akan saya jelaskan kemudian dan harus disertai fakta otentik. Keadaan seperti inilah yang perlu diluruskan sehingga rakyat atau generasi yang akan datang tidak ­bingung dan tersesat.
     Apakah dalam keadaan sekarang ini sudah menjalankan “Reformasi atau masih setengah reformasi”. Hal ini perlu dicermati dengan teliti. Ternyata masih belum banyak perubahan yang fundamental. Hal itu jelas terlihat dengan adanya wakil-wakil rakyat di DPR yang masih dominan dari wakil ABRI padahal tidak mempunyai massa atau pemilih, ini tidak adil. Belum bisa dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI. Masih berlakunya tindak ke­kerasan sehingga banyak menimbulkan korban rakyat seperti di Aceh, Irian, Timor-Timur, Banyuwangi dan Jakarta sendiri. Terutama yang dilihat sekarang masih ada tahanan politik yang menentang penguasa Orde Baru/status quo seperti PRD padahal pemimpin atau ketua umum PRD Budiman Sujatmiko yang seharusnya ikut aktif dalam kiprah kampanye pemilihan umum belum dibebaskan, padahal dalam putusan pengadilan telah di­nyatakan mereka tidak bersalah. Wakil-wakil rakyat yang sekarang baik di DPR maupun di MPR adalah orang-orang Orde Baru dengan berbagai dalih mereka selalu mengatakan telah mengadakan perubah­an. Lain jaman jatuhnya Presiden Soekarno dahulu bahwa semua wakil-wakil rakyat dibubarkan dan ditangkapi dipenjarakan tanpa melalui proses hukum dan tidak diadili. Belum berani mengadili Mantan Presiden Soeharto dari semua kesalah­an dalam memimpin Negara R.I. selama 32 tahun sehingga menga­kibatkan negara ini menjadi runyam.
     “Orde Setengah Reformasi” ternyata masih memelihara hantu di siang bolong bahkan kurang lebih 90% masih dikuasai Orde Baru. Mulai para Menteri, Gubernur, Bupati, Camat sampai Lurah bahkan mungkin pengurus RT/RW masih perlu direformasi. Pemberantasan korupsi masih pilih kasih dan perlunya perubahan para penegak hukum.
     Untuk meluruskan sejarah perlu dikaji secara teliti “siapa sebenarnya yang melakukan coup d’etat pada 1 Oktober 1965 itu, G30S ataukah Jenderal Soeharto”? Inilah yang selalu menjadi permasalahan sekarang dan siapa sebenarnya yang mulai berkuasa waktu itu setelah presiden Soekarno ditawan sehingga wafat. Siapa yang menahan Presiden Soekarno dan siapa yang menggulingkan pemerintahan Soekarno: G30S ataukah Soeharto? Karena itu rakyatlah yang harus meneliti dan mengadili sendiri. Dengan adanya kata pengantar ini saya memohon yang paling terpenting dalam era Reformasi ini agar membentuk persatuan para Pemuda, Mahasiswa, Buruh, Tani dan semua lapisan masyarakat. Jangan mau dipecah belah dan jangan mau disogok oleh uang untuk memecah persatuan untuk suksesnya refomasi total demi untuk kepentingan Rakyat.
     Sebagai penulis buku pembelaan ini, berharap buku ini bisa menjadikan pembaca lebih kritis, rasional dan mampu merekonstruksi kembali buku ini secara teliti. Dan saya mohon maaf sebesar-besarnya mungkin banyak kesalahan terutama dalam segi tata bahasa, terus terang bahwa saya tidak mempunyai keahlian untuk itu, di samping itu sewaktu menulis pembelaan waktunya singkat dan sangat tergesa-gesa dan kami selalu dikejar persidang­an. Secara garis besar dalam kata pengantar ini telah saya uraikan apa yang menjadi pendirian dalam pembelaan kami untuk menghadapi rezim Soeharto.
Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 21 Mei 1999.
          Abdul Latief



Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 9:27 AM